Intubasi dan Ventilasi pada Pasien ARDS dengan COVID-19

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Intubasi dan ventilasi adalah salah satu modalitas pada pasien acute respiratory distress syndrome (ARDS), termasuk ARDS yang disebabkan oleh COVID-19. Walaupun pasien COVID-19 saat ini umumnya hanya mengalami gejala ringan atau uncomplicated, tetapi sebagian kecil berisiko mengalami gejala lebih berat, seperti sesak napas berat yang memerlukan rawat inap dan intubasi darurat akibat hipoksia berat yang berlangsung mendadak.[1]⁠

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Penanganan Acute Respiratory Distress Syndrome pada COVID-19

Salah satu diagnosis klinis tersering pada kasus COVID-19 berat adalah pneumonia dan emboli paru. Selain itu, komplikasi COVID-19 lainnya adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS).[1]

ARDS pada COVID-19 umumnya terjadi dalam 1 minggu setelah onset. Perjalanan penyakit ini diawali dengan fase pneumonia, di mana beberapa pasien berkembang menjadi ARDS. ARDS adalah diagnosis klinis, tetapi USG toraks atau CT scan toraks samping tempat tidur setelah pasien stabil dapat mengonfirmasi diagnosis dengan gambaran honeycomb appearance.[3]⁠

shutterstock_1068227519

Menentukan Diagnosis ARDS pada COVID-19

Diagnosis ARDS pada pasien COVID 19 memiliki kriteria yang sama dengan ARDS pada umumnya. Menurut kriteria Berlin, derajat keparahan ARDS ditentukan oleh PaO2/FiO2:

  • Mild: 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
  • Moderate: 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg
  • Severe: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg[2]

Tenaga medis perlu menyadari adanya gagal napas, ketika pasien dengan distres pernapasan tidak merespon terapi oksigen standar. Pada pasien gagal napas, umumnya usaha napas tetap meningkat meskipun sudah diberikan oksigen melalui face mask non rebreathing dosis 10‒15 L/menit.[4]

Manfaat Pemasangan Intubasi

Sama seperti ARDS yang disebabkan oleh penyakit lain, pasien COVID-19 dengan ARDS perlu dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik. Meta analisis oleh Ridjab et al (2022) menunjukkan mortalitas ARDS pada COVID-19 berkurang 24% jika jika intubasi dilakukan dini, yaitu 24–48 jam pertama pasien mengalami ARDS atau saat ROX score menunjukkan angka yang perlu dilakukan intubasi.[4,5]

Namun, kondisi ini tidak mengubah prognosis secara signifikan, karena intubasi dini hanya berdampak pengurangan jumlah kematian sebesar 119 dari 1000 pasien COVID di ICU. Hal ini dikonfirmasi oleh penelitian oleh Lee et al (2022), yaitu tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok mendapat intubasi dini dengan intubasi tertunda  (RR 0,91, indeks kepercayaan 95% 0,75–1,10).[5]⁠

Manfaat Posisi Prone

Selain pemasangan intubasi, posisi prone merupakan modalitas terapi oksigen lain untuk pasien COVID 19 dengan hipoksemia. Studi oleh Verma et al (2022) menemukan bahwa posisi prone dapat memperbaiki kondisi hipoksemia pasien COVID-19, tetapi  tidak memperbaiki luaran mortalitas pasien COVID-19. Posisi prone juga dapat mengurangi tindakan intubasi apabila dilakukan dengan durasi ≥5 jam/hari pada pasien dengan hipoksemia berat (PaO2/FiO2 <150).[6]⁠

Angka tersebut didapatkan dari hasil observasi post hoc yang diinterpretasikan sebagai signifikansi akibat efek fisiologis. Di samping itu, posisi prone dapat dilakukan pada pasien yang terpasang intubasi dan ventilasi dalam rangka meningkatkan luaran pasien.[7]⁠

Pedoman Pemasangan Intubasi dan Ventilasi pada Pasien ARDS dengan COVID-19

Gagal napas pada pasien ARDS umumnya disebabkan mismatch ventilasi-perfusi intrapulmonal, sehingga memerlukan ventilasi mekanik. Namun, perlu dipertimbangkan keamanan proses pemasangan intubasi dan ventilasi pada pasien COVID-19, karena:⁠

  • Pasien tidak kooperatif akibat kondisi hipoksia
  • Masker pasien harus dilepas
  • Jarak tenaga medis dekat dengan jalan napas pasien
  • Tindakan laringoskopi dan intubasi rentan menimbulkan aerosolisasi virus[3,4]

Secara umum, beberapa modifikasi dalam perawatan pasien COVID-19 untuk mencegah transmisi virus SARS-CoV-2 adalah:⁠

  • Pasien COVID-19 ditempatkan di ruangan tersendiri dan tidak dengan pasien lain, jika tidak memungkinkan maka jarak antara pasien setidaknya 2 meter
  • Pasien menggunakan masker selama pemeriksaan dan transfer
  • Berhati-hati ketika menggunakan high-flow nasal oxygen (HFNO) atau non-invasive ventilation (NIV) untuk mencegah aerosolisasi virus
  • Tenaga medis yang terlibat dalam prosedur yang menimbulkan aerosolisasi harus mengenakan alat pelindung diri lengkap (APD) seperti masker N95 atau FFP3, kaca mata pelindung (googles), baju pelindung, sarung tangan, dan sepatu[4,5]

Manajemen Airway dan Intubasi pada Pasien COVID-19

Sandefur et al pada tahun 2021 membuat checklist dalam manajemen airway pasien COVID-19. Teknik dan peralatan yang harus disediakan sesuai checklist ini bertujuan untuk menurunkan risiko penularan aerosol dari pasien ke tenaga medis.[8]⁠

Tabel 1. Checklist Manajemen Airway Pasien COVID-19

Persiapan
1 Pemasangan APD airborne secara lengkap: masker N95 dan face shield atau masker dengan penyaring udara aktif dengan tutup kepala, gaun, handscoen ganda, dan boot, disaksikan oleh tim lain untuk menjaga kebenaran langkah pemakaian.
2 Tim utama: hanya tim yang diperlukan untuk proses intubasi.
3 Tim back-up diharapkan siap dengan APD diluar dan dapat berkomunikasi dengan tim di dalam, misalnya dengan speakerphone.

4

Call for help segera bila didapatkan kesulitan manajemen airway.

5

Closed-loop adalah komunikasi yang dilakukan detail dengan semua rencana intubasi dan back up, termasuk:

●      Persiapan alat preoksigenasi dan intubasi utama.

●      Persiapan alat back up dalam tas tertutup, yang mudah diakses dari dalam ruangan.

6 Tutup pintu dan tinggalkan tulisan yang terbaca sedang dilakukan prosedur saat intubasi.
Prosedur
7 Gunakan checklist intubasi (dewasa atau anak-anak).
8 Intubasi harus dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman.
9 Preoksigenasi selama 3‒5 menit dengan oksigen 100% dan masker ketat yang memiliki filter virus. Usahakan pasien bernafas spontan dan cegah napas dalam, untuk mencegah batuk.
10 Teknik rapid sequence intubation (RSI) dengan pelumpuh otot dosis tinggi, kecuali terdapat kontraindikasi. Pada pasien usia muda yang tidak dapat mentoleransi kondisi apnea, dapat diberikan ventilasi.
11 Tunggu kondisi paralisis sempurna (45‒60 detik) dan apnea, sebelum melepas alat bantu preoksigenasi.
12 Video laringoskop adalah mutlak pada rumah sakit yang memiliki alat ini, tergantung personel yang melakukan. Jika dilakukan laringoskop direk, memaksimalkan jarak antara pasien dan inkubator.
13 Pertimbangkan penggunaan laringeal mask airway (LMA) bila percobaan pertama tidak berhasil.
14 Ventilasi hanya diberikan bila SANGAT DIPERLUKAN dengan menggunakan oropharyngeal airway (OPA), memperketat seal masker saat ventilasi, menggunakan viral filter, dan memberikan ventilasi dengan volume rendah.
15 Secepat mungkin kembangkan balon setelah intubasi berhasil, sebelum ventilasi dimulai. Termasuk pada pasien anak-anak.
16 Setelah prosedur pemasangan intubasi selesai, lepaskan handscoon luar, kemudian cuci tangan dengan hand sanitizer dengan masih menggunakan handscoon dalam.
17

Tipe sambungan dengan ventilator adalah:

●      Sirkuit dengan heat and moisture exchanger (HME): endotracheal tube (ETT): in-line suction; HME/filter: capnograph, circuit.

●      Sirkuti tanpa HME: ETT: in-line suction; capnograph, circuit.

18 Konfirmasi dengan visualisasi, tipe gelombang capnograph dan kedua bidang dada mengembang. Jika ketiga parameter tersebut tidak jelas, maka lakukan auskultasi, capnograph berwarna, atau penggunaan point of care ultrasonography (POCUS) dapat dilakukan.
Pasca Prosedur
19 Batasi buka tutup sirkuit ventilator. Ventilator hendaknya distop saat ekspirasi selesai, dibutuhkan paralisis atau sedasi yang mencukupi, dan pertimbangan untuk klem ETT saat dilakukan pelepasan sirkuit ventilator.
20 Buang semua alat airway segera ke sampah plastik khusus.
21 Lepaskan APD disaksikan dengan tim lain, untuk mencegah kesalahan dalam pelepasan dan kontaminasi APD.
22 Setelah intubasi, catat waktu selesai intubasi dan ditulis di pintu sehingga tim lain dapat masuk ke ruangan tanpa perlu menggunakan APD (waktu ini bervariasi pada tiap ruangan, dan memerlukan penggantian udara sebanyak minimal 7 kali sebelum tim lain dapat memasuki ruangan tanpa menggunakan APD)

Sumber: Yadikusumo, 2023.[8]

Manajemen Ventilasi pada Pasien COVID-19 dengan ARDS

Prinsip manajemen ventilasi pasien COVID-19 mengacu pada prinsip lung protective strategy dari protokol ARDS. Protokol ini mencakup beberapa Langkah seperti dibawah ini :⁠

  • Hitung ideal body weight

  • Gunakan volume tidal 8 ml/kgBB atau kurang
  • Berikan positive end expiratory pressure(PEEP) minimal 5 -8 cmH2O
  • Gunakan fraksi oksigen terendah untuk mencapai SpO2 88 –96% dan PaO2 55-80
  • Bila terdapat permasalahan ventilator, hubungi dokter anestesi atau penanggung jawab intensive care

  • Evaluasi klinis dan laboratorium pasien[9]

Ventilasi Noninvasif pada Pasien ARDS dengan COVID-19

Penggunaan ventilasi noninvasif pada pasien ARDS dengan COVID-19 masih merupakan topik yang kontroversial. Menurut para ahli, ventilasi secara HFNO atau NIV yang dilakukan menggunakan peralatan berukuran tepat tidak akan menimbulkan dispersi atau penyebaran udara ekspirasi, sehingga risiko transmisi secara airborne rendah.[1-3,5]

Menzella et al pada tahun 2021 mengemukakan bahwa penggunaan NIV pada pasien COVID-19 menurunkan angka intubasi. Namun, menurut WHO, potensi aerosolisasi virus pada penggunaan HFNO dan NIV belum dapat dipastikan, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan penularan secara airborne di ruang tertutup, untuk evaluasi keamanan lebih lanjut.[1,13]

Risiko aerosolisasi virus akibat HFNO ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain durasi penggunaan alat, flow rate, kooperasi pasien, frekuensi batuk pasien, dan kualitas APD. Selanjutnya, studi multicentre oleh Polok et al pada tahun 2022 mengemukakan bahwa pasien COVID 19 berusia >70 tahun memiliki angka keberhasilan yang rendah menggunakan NIV dibandingkan dengan intubasi dini.[3,14]⁠

Studi oleh Karagiannidis et al pada tahun 2022 menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah hari ventilator dengan penggunaan NIV, tetapi tidak memperbaiki mortalitas, terutama pada penggunaan NIV yang terlambat.[15,16]⁠

Obat-Obat Sedatif Pasien COVID-19 dengan ARDS

Obat-obatan yang bersifat sedatif dapat diberikan untuk mengendalikan pernapasan dan mencapai target volume semenit. Beberapa obat yang disarankan adalah dexmedetomidin, propofol, dan remifentanil secara infus. Pemberian pelumpuh otot masih kontroversial. Hal ini disebabkan pemberian obat muscle relaxant memperbaiki oksigenasi tetapi tidak menurunkan mortalitas pasien dengan ARDS sedang dan berat.[10]⁠

Pemberian muscle relaxant dapat dipertimbangkan pada kasus breathing overdrive, disinkroni ventilator dengan pasien, dan pasien tidak dapat mencapai angka target tidal volume maupun plateau pressure.[3,10]⁠

Namun demikian, terdapat laporan dari Flinspach et al pada tahun 2021 melaporkan bahwa kombinasi obat sedatif sering digunakan untuk mendapatkan tingkat sedasi yang diinginkan dan kesesuaian ventilator dan pasien. Selanjutnya, terdapat dosis analgesia dan sedasi untuk pasien COVID-19 yang meningkat secara tidak wajar sehingga sering dilakukan terapi secara kombinasi untuk mendapatkan kesesuaian ventilasi antara alat dan pasien. Kombinasi tersebut adalah kombinasi clonidine, esketamine, dan midazolam. [11]

Tapaskar et al pada tahun 2022 juga mendapatkan penggunaan sedatif yang lebih tinggi pada pasien COVID-19 dibandingkan pasien bukan COVID-19. Dari penelitiannya, didapatkan penggunaan injeksi ekstra midazolam yang berbeda bermakna dari kelompok pasien COVID-19 terhadap kelompok pasien non COVID-19, dalam menghasilkan tingkat sedasi pasien sesuai Richmond Analgesia – Sedation Scale yang diinginkan. Hal ini terutama terjadi pada hari ke-5 penggunaan midazolam tersebut. Namun, perbedaan ini tidak berhubungan dengan outcome dari pasien COVID-19 dan non COVID-19.[12]⁠

Kesimpulan

Salah satu komplikasi COVID-19 adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), yang memerlukan perawatan intensif yang di antaranya memerlukan intubasi darurat akibat hipoksia berat yang mendadak.

Proses manajemen airway pada pasien COVID-19, termasuk intubasi dan ventilasi, merupakan proses berisiko tinggi terjadinya transmisi secara aerosol. Untuk meminimalisasi risiko transmisi dan memastikan manajemen airway terlaksana dengan baik, maka intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dan berpengalaman, serta mengenakan APD seperti masker N95 dan kacamata pelindung.

Gagal napas pada ARDS umumnya disebabkan mismatch ventilasi-perfusi intrapulmonal, sehingga memerlukan ventilasi mekanik. Sementara, penggunaan ventilasi non-invasif pada pasien ARDS dengan COVID-19 masih merupakan topik yang kontroversial. Sampai saat ini, data menunjukkan bahwa terdapat pengurangan hari ventilasi pada pasien COVID-19 yang dilakukan ventilasi non invasif secara dini, namun tidak memperbaiki outcome mortalitas secara umum.

Intubasi dan ventilasi mekanik dini masih direkomendasikan sebagai penanganan ARDS pada COVID-19, walaupun tetap tidak memperbaiki angka kematian secara umum. Manajemen ventilasi pasien COVID-19 dengan ARDS sebenarnya masih mengacu pada manajemen ARDS pada pasien bukan COVID-19.

Sementara, penggunaan obat sedatif dan pelumpuh otot pada pasien COVID-19 harus sesuai indikasi. Tidak ada obat yang lebih superior. Selain itu, data menunjukkan  penggunaan obat sedatif pada pasien COVID -19 memiliki dosis yang tinggi dan tidak wajar dan penggunaannya pun sebaiknya dikombinasikan untuk mendapatkan dosis yang masih aman dalam batas terapeutik seperti kombinasi ketamin, midazolam, dan opiat.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Krisandryka Wijaya

Referensi