Perlukah Suplementasi Zat Besi pada Ibu Hamil Terlepas Status Kecukupan Besinya?

Oleh :
dr. Nindy Adhilah

Saat ini, suplementasi zat besi secara rutin diberikan kepada seluruh ibu hamil, terlepas dari status kecukupan kadar zat besinya. Meski demikian, banyak ahli berpendapat bahwa manfaat dan risiko klinis dari suplementasi zat besi secara universal, utamanya pada ibu hamil dengan status kecukupan besi baik (iron sufficient), masih belum jelas.[1,2]

Anemia merupakan masalah kesehatan global yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin dalam tubuh yang mengakibatkan terganggunya aliran oksigen ke jaringan tubuh. Ibu hamil dan anak-anak merupakan populasi yang berisiko mengalami anemia. Prevalensi global anemia dalam kehamilan diperkirakan melebihi 40%, dengan penyebab terbanyak adalah anemia defisiensi besi (ADB). Di negara berkembang, termasuk Indonesia, prevalensi ADB dapat mencapai 60%. Oleh karena itulah, program suplementasi zat besi pada ibu hamil dimulai.[1,3,4]

Young,Woman's,Hand,Holding,Blister,Packs,Of,Red,Pills,For

Metabolisme Zat Besi dalam Tubuh

Zat besi merupakan mikronutrien yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah dan proses metabolisme sel. Asupan makanan merupakan satu-satunya sumber zat besi bagi manusia. Absorpsi zat besi di duodenum dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis makanan. Zat besi pada makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu zat besi heme (berasal dari makanan hewani seperti daging, ikan, ayam, dan hati) dan zat besi non-heme (berasal dari makanan nabati seperti sayuran hijau, buah, dan kacang-kacangan). Proporsi zat besi yang diserap dari zat besi heme sebesar 10-15%, sedangkan kurang dari 2% unsur zat besi non-heme diserap ke dalam tubuh. Selain itu, pH asam dari lambung dan konsumsi vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi.[2,3,5,6]

Zat besi yang telah diserap dapat disimpan di dalam enterosit dalam bentuk ferritin atau dibawa oleh protein pengikat transferin melalui sirkulasi darah menuju jaringan tubuh. Selain dari absorpsi duodenum, zat besi juga didapatkan dari proses daur ulang eritrosit yang dilakukan oleh makrofag lien, sumsum tulang, serta hepar. Zat besi kemudian akan dimanfaatkan untuk pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang, sintesis myoglobin pada jaringan otot, serta proses metabolisme oksidatif sel.[3,6]

Hepar berperan penting dalam penyimpanan serta regulasi zat besi. Hepar menghasilkan hormon hepcidin yang dapat mengendalikan pelepasan zat besi oleh enterosit dan makrofag ke dalam aliran darah. Hepcidin akan diproduksi bila kadar zat besi dalam darah meningkat atau terjadi proses inflamasi dalam tubuh. Hepcidin akan menurunkan absorpsi zat besi di duodenum, menurunkan pelepasan zat besi ke sirkulasi darah, dan mempertahankan ferritin untuk berada dalam makrofag dan enterosit.[2,3,6]

Kebutuhan Zat Besi pada Kehamilan

Kebutuhan zat besi pada kehamilan meningkat pesat untuk menunjang pertumbuhan janin dan plasenta serta ekspansi sel darah merah. Diperkirakan sekitar 1 gram zat besi dibutuhkan selama kehamilan dengan ±350 mg di antaranya akan disalurkan kepada janin, 500 mg untuk ekspansi volume darah ibu, serta 250 mg untuk mengantisipasi kehilangan darah saat proses persalinan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ibu hamil perlu mengonsumsi 27 mg zat besi per hari dari diet selama kehamilan (dibandingkan 1-8 mg kebutuhan konsumsi zat besi pada populasi dewasa normal).[1,3,7]

Karena adanya peningkatan kebutuhan zat besi inilah dan untuk mencegah timbulnya anemia defisiensi besi (ADB) selama kehamilan, banyak negara menyarankan suplementasi zat besi pada seluruh ibu hamil terlepas dari status kecukupan besinya. CDC menyarankan pemberian zat besi 30 mg/hari selama kehamilan, sedangkan WHO menyarankan pemberian zat besi 60 mg/hari untuk semua ibu hamil. Meski demikian, Inggris tidak mengharuskan suplementasi zat besi rutin selama kehamilan pada ibu dengan gestasi yang normal.[1]

Anemia dan Defisiensi Besi pada Kehamilan

Pada kehamilan, terjadi ekspansi plasma darah dan eritrosit untuk memenuhi kebutuhan janin. Akan tetapi, ekspansi sel darah merah tidak sebesar ekspansi plasma darah, sehingga terjadi hemodilusi. Hal ini yang menyebabkan kadar hemoglobin dalam darah akan turun, dikenal sebagai anemia fisiologis pada kehamilan. Kadar Hb < 11 g/dL atau kadar hematokrit < 33% merupakan tanda anemia pada kehamilan yang bukan merupakan proses fisiologis. Anemia yang paling sering terjadi pada ibu hamil adalah anemia defisiensi besi (ADB).[1,3,4]

Perlu digarisbawahi bahwa defisiensi besi dapat terjadi tanpa adanya anemia. Pada defisiensi besi, kadar simpanan zat besi berada di bawah normal, tetapi belum didapatkan gangguan pembentukan eritrosit sehingga kadar hemoglobin dalam darah cenderung normal dan tidak didapatkan gejala anemia. Jika kebutuhan zat besi meningkat dan tidak dipenuhi, kondisi ini dapat berlanjut menjadi ADB.[1-3]

Risiko yang Ditimbulkan Anemia dan Defisiensi Besi Selama Kehamilan

Defisiensi besi dan ADB pada kehamilan meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia, kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi kecil masa kehamilan (KMK), serta gangguan neurokognitif dan motorik pada infant. Asupan zat besi yang rendah selama masa kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya schizophrenia dan autisme pada anak.[1,2]

Pemberian Suplementasi Zat Besi pada Ibu Hamil

Sebagai upaya untuk menurunkan kejadian anemia dan defisiensi besi pada kehamilan, program pemberian suplementasi zat besi untuk ibu hamil telah rutin dilakukan pada praktik klinis. Penelitian telah menunjukkan bahwa suplementasi zat besi pada ibu hamil menurunkan risiko terjadinya anemia dan defisiensi besi, bayi dengan BBLR, serta kelahiran prematur.

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Perancis, telah menerapkan program suplementasi besi rutin pada seluruh ibu hamil terlepas dari status kecukupan besinya. Namun, ada pula negara yang tidak melakukan hal ini. Australia dan Inggris misalnya, hanya memberikan suplementasi zat besi pada ibu hamil yang ditemukan mengalami anemia defisiensi besi pada skrining. Hal ini karena belum terdapat bukti kuat bahwa suplementasi zat besi akan bermanfaat pada ibu hamil dengan kadar zat besi yang cukup (iron sufficient).[1-3]

Potensi Risiko Pemberian Suplementasi Zat Besi

Pemberian suplementasi zat besi pada wanita yang tidak mengalami defisiensi besi dikhawatirkan dapat menyebabkan kelebihan kadar zat besi dalam darah. Kadar zat besi berlebihan dapat membentuk zat besi yang tidak terikat protein atau nonprotein-bound iron (NPBI) yang mampu mengkatalisis pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS). ROS dapat merusak membran dan organel sel.

Selain potensinya membentuk ROS, kadar zat besi yang berlebihan dalam tubuh dapat menguntungkan bagi mikroorganisme patogen yang hidup dengan baik di lingkungan yang kaya zat besi. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang disebabkan Escherichia coli (E. coli), Salmonella sp, serta Plasmodium sp.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan anemia defisiensi besi (ADB) memiliki angka kejadian malaria yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita tanpa ADB. Akan tetapi, penelitian lain menunjukkan bahwa suplementasi zat besi tidak meningkatkan risiko terjadinya malaria pada ibu hamil. Studi yang berusaha meneliti efek samping dari suplementasi zat besi pada kehamilan juga tidak menemukan perbedaan bermakna antara kelompok yang mendapat suplementasi dengan kelompok kontrol.[1,2]

Rekomendasi Pemberian Suplementasi Zat Besi di Indonesia

Seperti telah disebutkan di atas, terdapat beberapa negara maju yang menganjurkan suplementasi zat besi secara rutin pada seluruh ibu hamil tanpa memandang status kecukupan besi, namun juga ada beberapa negara yang hanya memberikan suplementasi besi pada ibu dengan anemia defisiensi besi (ADB) saja (dideteksi melalui skrining saat perawatan antenatal). Sementara itu, hingga kini WHO masih merekomendasikan pemberian 30 hingga 60 mg zat besi per hari untuk ibu hamil.[2,8,9]

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian zat besi setara 60 mg besi elemental dalam bentuk sediaan ferro sulfat, ferro fumarat, atau ferro glukonat. Pemberian dianjurkan setiap hari selama masa kehamilannya, atau minimal 90 tablet.[10]

Kesimpulan

Defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia, persalinan prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), kecil masa kehamilan, serta gangguan neurokognitif. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa pemberian suplementasi zat besi dapat menurunkan angka kejadian anemia, bayi BBLR, dan persalinan preterm.

Meski demikian, ada pendapat bahwa pemberian  suplementasi zat besi pada ibu hamil dengan status besi yang cukup (iron sufficient) tidak diperlukan. Hal ini karena belum ada bukti ilmiah adekuat yang mendukung manfaat pemberian suplementasi zat besi pada ibu hamil iron sufficient. Selain itu, terdapat potensi kelebihan zat besi yang dapat menyebabkan meningkatnya pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme patogen yang hidup dengan baik di lingkungan kaya zat besi (seperti Plasmodium).

Hingga kini, WHO menyarankan pemberian zat besi 30-60 mg pada seluruh ibu hamil. Hal ini juga berlaku di beberapa negara maju, seperti Perancis dan Amerika Serikat. Namun, ada pula negara lain, misalnya Inggris dan Australia, yang menganjurkan untuk melakukan skrining terlebih dulu dan hanya memberikan suplementasi pada ibu hamil yang mengalami anemia defisiensi besi.

Di Indonesia sendiri, karena tingginya prevalensi anemia pada wanita usia reproduktif, Kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian suplementasi zat besi 60 mg pada seluruh ibu hamil, terlepas dari status kecukupan besinya, selama masa kehamilan atau setidaknya 90 tablet besi.

Referensi