SGLT2-Inhibitor: Lebih Dari Sekedar Terapi Diabetes Tipe 2

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

SGLT2-Inhibitor, atau Sodium-Glucose Cotransporter-2 Inhibitor (SGLT2i), adalah obat yang efektif untuk diabetes mellitus tipe 2 dan juga telah menunjukkan manfaat untuk penyakit jantung, terutama gagal jantung dan hipertensi, serta gangguan ginjal dan penurunan berat badan. Contoh SGLT2i adalah empagliflozin, canagliflozin, dan dapagliflozin.[1,2]

Mekanisme kerja SGLT2i pada kontrol glikemik terletak pada reduksi reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal ginjal dan menyebabkan glukosuria. Adapun mekanisme yang diduga bermanfaat pada sistem kardiovaskuler terletak pada perannya dalam reduksi tekanan darah melalui diuresis atau natriuresis, reduksi inflamasi, inhibisi sistem saraf dan pencegahan cardiac remodeling.[3,4]

SGLT2DM

Di sisi lain, mekanisme SGLT2i yang diduga bermanfaat pada ginjal terletak pada penurunan tekanan intraglomerular melalui peningkatan delivery natrium pada nefron yang menyebabkan efek downstream dari adenosin terhadap konstriksi arteriol glomerular aferen. Selain itu, SGLT2i turut meningkatkan oksigenasi tubuler dan mengurangi inflamasi ginjal serta memperbaiki fungsi mitokondria.[5,6]

Bukti Manfaat SGLT2-Inhibitor pada Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Sistem Kardiovaskuler

Terdapat beberapa jenis SGLT2i yang sudah diteliti manfaatnya untuk sistem kardiovaskuler pada pasien diabetes.

Empagliflozin

Penelitian EMPA-REG OUTCOME merupakan penelitian awal yang menyelidiki manfaat SGLT2i pada pasien diabetes dan potensi manfaatnya untuk sistem kardiovaskuler. Penelitian ini melibatkan 7020 pasien diabetes tipe 2 yang mendapatkan empagliflozin atau plasebo.

Hasil studi ini menemukan adanya penurunan kadar HbA1c dan penurunan major adverse cardiovascular events (MACE) seperti infark miokard, stroke, dan kematian kardiovaskuler di grup empagliflozin. Bahkan dijumpai pula penurunan angka rawat inap pasien diabetes mellitus tipe2 yang terkait dengan gagal jantung pada grup empagliflozin.[7]

Canagliflozin

Percobaan program CANVAS membandingkan 10142 pasien diabetes yang mendapat canagliflozin atau plasebo. Studi ini menemukan adanya penurunan MACE pada grup canagliflozin. Selain itu, angka rawat inap terkait gagal jantung dan kematian kardiovaskuler turun signifikan pada grup canagliflozin. Namun, ditemui peningkatan risiko amputasi khususnya pada jari kaki atau metatarsal pada grup canagliflozin.[8,9]

Dapagliflozin

Studi DECLARE-TIM mengevaluasi 17160 pasien diabetes yang mendapat dapagliflozin atau plasebo. Studi ini melaporkan adanya penurunan kematian maupun angka rawat inap terkait gagal jantung di grup dapagliflozin. Tapi, dapagliflozin belum mengurangi kejadian MACE dengan signifikan. Di sisi lain, kejadian negatif terkait ginjal ditemukan lebih sedikit pada grup dapagliflozin.[10,11]

Tinjauan Sistematik Terhadap Bukti SGLT2-Inhibitor Secara Umum

TIMI Study Group melakukan meta-analisis terhadap data gabungan EMPA-REG OUTCOME, CANVAS, dan DECLARE-TIMI dengan jumlah total 34322 pasien diabetes.

Studi ini menemukan bahwa SGLT2i terbukti mampu menurunkan angka rawat inap terkait gagal jantung maupun progresi penyakit ginjal pada pasien diabetes dengan atau tanpa penyakit kardiovaskuler sebelumnya atau mereka yang memiliki riwayat gagal jantung sebelumnya.[12]

Bukti Manfaat SGLT2-inhibitor Pada Pasien Penyakit Kardiovaskuler Dengan Atau Tanpa Diabetes

Terdapat beberapa penelitian yang mengevaluasi manfaat SGLT2i pada pasien penyakit kardiovaskuler dengan atau tanpa diabetes. Beberapa kemiripan aspek patofisiologi gagal jantung dan sirosis hepatis juga menyebabkan penggunaannya pada kasus sirosis mulai dipertimbangkan, tetapi hal ini masih memerlukan studi klinis lebih lanjut.

Pasien dengan Heart Failure Reduced Ejection Fraction

Percobaan DAPA-HF melibatkan 4744 pasien heart failure reduced ejection fraction (HFeEF) yang diberikan dapagliflozin versus plasebo. Ditemukan penurunan kejadian luaran komposit perburukan gagal jantung atau kematian kardiovaskuler pada grup dapagliflozin. Selain itu, baik rawat inap karena gagal jantung maupun kematian kardiovaskuler berkurang pada grup dapagliflozin terlepas dari kondisi diabetes atau tanpa diabetes.[13]

Percobaan lain membandingkan penggunaan empagliflozin terhadap plasebo pada 3730 pasien HFeEF. Luaran komposit primer rawat inap karena gagal jantung atau kematian kardiovaskuler dapat menurun secara signifikan pada grup empagliflozin. Studi ini turut menemukan konsistensi manfaat empagliflozin pada penurunan kematian kardiovaskuler dan perburukan gagal jantung terlepas dari status diabetes pasien.[14]

Pasien dengan Heart Failure With Preserved Ejection Fraction

Percobaan EMPEROR-Preserved membandingkan empagliflozin terhadap plasebo pada 5988 pasien heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF). Studi ini menemukan bahwa luaran primer rawat inap karena gagal jantung atau kematian kardiovaskuler mengalami penurunan signifikan pada grup empagliflozin, baik pada pasien dengan diabetes atau tanpa diabetes.[15]

Pasien Gagal Jantung Lainnya

Studi SOLOIST-WHF mengevaluasi stoglifozin dengan plasebo terhadap 1222 pasien rawat inap akibat perburukan gagal jantung, baik HFrEF maupun HFpEF. Sotaglifozin mampu mengurangi risiko kematian kardiovaskuler dan rawat inap terkait secara signifikan. Studi ini menunjukkan bahwa terapi SGLT2i dapat dimulai secara aman dan efektif pada pasien-pasien gagal jantung, bahkan pada mereka yang sedang mengalami episode dekompensasi.[16,17]

Uji klinis lain melibatkan 530 pasien rawat inap dengan diagnosis acute de novo gagal jantung kronis, tanpa memandang fraksi ejeksi ventrikel kiri, yang mendapat empagliflozin atau plasebo. Luaran primer ialah komposit kematian, jumlah kejadian gagal jantung, waktu hingga kejadian pertama gagal jantung atau perubahan 5 poin atau lebih pada Kansas City Cardiomyopathy Questionnaire Total Symptom Score.

Pasien kelompok empagliflozin mengalami manfaat lebih pada luaran primer dibandingkan grup plasebo. Efektivitas empagliflozin tampak konsisten pada kondisi acute de novo atau decompensated chronic heart failure, tanpa memandang status fraksi ejeksi ventrikel kiri ataupun diabetes.[18]

Uji klinis DELIVER menginvestigasi dapagliflozin versus plasebo terhadap 6263 pasien gagal jantung. Percobaan ini hanya mengikutkan pasien gagal jantung tanpa diabetes sama sekali, baik pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan dengan fraksi ejeksi 40% atau lebih besar. Pasien di grup dapagliflozin menunjukkan penurunan risiko bermakna pada luaran komposit primer kematian kardiovaskuler atau perburukan gagal jantung dibandingkan plasebo.[19]

Bukti Manfaat SGLT2-Inhibitor Pada Pasien Penyakit Ginjal

Percobaan CREDENCE mengevaluasi penggunaan canagliflozin versus plasebo pada 4401 pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronis (PGK). Luaran primer mencakup end-stage kidney disease, peningkatan dua kali serum kreatinin, mortalitas terkait ginjal. Hasil studi menemukan penurunan bermakna luaran primer pada grup canagliflozin. Luaran sekunder yang meliputi kematian kardiovaskuler atau rawat inap akibat gagal jantung turut mengalami penurunan bermakna pada grup canagliflozin.[21]

Percobaan lainnya mempelajari 4304 pasien PGK tanpa memandang status diabetes yang mendapat dapagliflozin atau plasebo. Luaran primer studi ini mencakup penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), kejadian baru end-stage renal disease (ESRD), mortalitas terkait ginjal, atau terkait gagal jantung. Hasil studi menunjukkan penurunan bermakna luaran primer pada grup dapagliflozin. Dapagliflozin turut mengurangi rawat inap akibat gagal jantung maupun mortalitas kardiovaskuler secara bermakna. Manfaat tersebut konsisten ditemukan tanpa memandang status diabetes pasien.[22]

Uji klinis lain menginvestigasi 6609 pasien PGK dengan eGFR antara 20-45 mL/menit/1,73 m2 yang diberikan empagliflozin atau plasebo. Luaran primer studi ini ialah progresi penyakit ginjal kronis. Hasil studi menemukan penurunan bermakna luaran primer pada grup empagliflozin. Hasil tersebut konsisten tanpa memandang status diabetes pasien.[23]

Bukti Manfaat Terapi Kombinasi SGLT2-Inhibitor dengan Agonis Reseptor GLP-1

Meta-analisis tahun 2022 mengevaluasi data gabungan dari delapan percobaan acak terkontrol yang melibatkan total 1895 pasien diabetes yang diberikan terapi kombinasi agonis reseptor GLP-1 dengan SGLT2i. Adapun lama durasi penelitian acak terkontrol yang diikutsertakan pada meta-analisis tersebut berlangsung sedikitnya 12 minggu.

Hasil studi ini menemukan bahwa terapi kombinasi menghasilkan penurunan yang lebih besar untuk HbA1c, berat badan, glukosa darah puasa (FPG), glukosa darah 2 jam post prandial, tekanan darah sistolik, indeks massa tubuh, dan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) jika dibandingkan dengan monoterapi. Namun, risiko hipoglikemia, diare, muntah, mual, dan infeksi genital lebih banyak dijumpai pada terapi kombinasi.[24]

Bukti Efek Samping Terkait SGLT2 Inhibitor

Bukti klinis menunjukkan adanya peningkatan risiko infeksi saluran kemih pada penggunaan SGLT2i. Infeksi saluran kemih akibat bakteri dapat diterapi dengan pemberian antibiotik yang tepat. Risiko infeksi genital jamur tampaknya meningkat pula pada pasien wanita dan pria yang tidak disirkumsisi yang mendapat SGLT2i. Infeksi jamur tersebut dapat diterapi dengan pemberian obat anti-jamur yang sesuai.[2,25]

Selain risiko infeksi saluran kemih, pemberian SGLT2i meningkatkan risiko volume depletion karena SGLT2i bekerja sebagai mild diuretic. Patut dicermati bahwa sebelum memulai SGLT2i, status volume pasien harus dievaluasi. Sehubungan dengan hal itu pula, SGLT2i perlu dihindari atau dihentikan pada pasien diabetes yang sedang mengalami atau berisiko tinggi terhadap ketoasidosis atau hiperosmolar non-ketotik karena pasien tersebut berisiko tinggi mengalami dehidrasi.[2]

Meski risiko hipoglikemia rendah pada monoterapi SGLT2i, pemberian bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea, seperti glibenclamide, dapat meningkatkan risiko tersebut. Perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien yang mendapat terapi kombinasi tersebut.[2]

Hasil percobaan SGLT2 inhibitor menunjukkan adanya kejadian penurunan eGFR pada permulaan terapi SGLT2i (acute “dip’) yang berlangsung sejak minggu pertama hingga minggu ke-4 sejak dosis inisiasi. Efek tersebut bersifat transien dan akan kembali normal dalam 1 hingga 3 bulan.[2,26,27]

Posisi SGLT2 Inhibitor Pada Pedoman Klinis

Pedoman klinis terkini sudah mengadopsi terapi SGLT2i. Pada penanganan diabetes mellitus tipe 2, SGLT2 inhibitor telah menempati posisi lini kedua terapi setelah metformin. Namun, pada pasien diabetes dengan risiko tinggi atherosclerotic cardiovascular disease/ASCVD), PGK, atau gagal jantung, SGLT2i menjadi terapi pilihan awal. Hal serupa direkomendasikan pula pada pedoman tata laksana diabetes di Indonesia sejak tahun 2021.[28-30]

Pada pasien gagal jantung, SGLT-2i menjadi terapi lini pertama pada pasien HFrEF dengan atau tanpa diabetes. Untuk pasien PGK, pedoman internasional terkini KDIGO 2022 telah mengintegrasikan penggunaan SGLT2i pada pasien diabetik nefropati dengan syarat eGFR awal saat inisiasi sama atau di atas dari 30mL/menit/1,73m2.[31-33]

Kesimpulan

Data ilmiah yang kuat dan memadai telah menunjukkan bahwa terapi Sodium-Glucose Cotransporter-2 Inhibitor (SGLT2i) mampu memberi manfaat kontrol glikemik pada pasien diabetes sekaligus memberi efek proteksi kardiovaskuler dan ginjal. Penggunaan SGLT2i telah terbukti mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan kematian pada pasien dengan gagal jantung, terlepas dari status diabetes. Golongan obat ini juga telah menunjukkan manfaat dalam mencegah progresi penyakit ginjal, serta sedang diteliti manfaatnya untuk terapi penurunan berat badan dan gout.

Referensi