Terapi Profilaksis Deep Vein Thrombosis pada Pasien Keganasan

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Terapi profilaksis deep vein thrombosis (DVT) diperlukan pada pasien keganasan dalam upaya menghindari peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat cancer-associated pulmonary embolism. Pasien dengan keganasan lebih berisiko 4-7 kali lebih tinggi mengalami tromboemboli dibandingkan dengan populasi tanpa keganasan, sedangkan mortalitas pasien keganasan dengan tromboembolisme sendiri lebih tinggi 2-3 kali lipat dibanding yang tidak mengalami tromboembolisme.

Cancer-associated venous thromboembolism atau tromboembolisme vena terkait kanker, termasuk emboli paru, tromboembolisme terkait central venous catheter (CVC), dan deep vein thrombosis, merupakan penyebab mortalitas tertinggi kedua pada pasien keganasan. Kejadian DVT berulang pada pasien keganasan juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kebutuhan rawat inap yang diikuti peningkatan kebutuhan sumber daya kesehatan.[1,2,6,7]

profilaksis dvt, profilaksis dvt untuk pasien kanker, profilaksis dvt karsinoma, alomedika

Berbagai organisasi terkait kanker di dunia, seperti American Society of Oncology (ASCO), American Society of Hematology (ASH), The International Initiative on Thrombosis and Cancer (ITAC), maupun European Society for Medical Oncology (ESMO), telah memperbarui panduan bagi klinisi dalam upaya pencegahan deep vein thrombosis (DVT). Oleh karena itu, penting bagi klinisi dalam mengetahui update mengenai terapi profilaksis deep vein thrombosis pada pasien keganasan.[1–5]

Sekilas mengenai Deep Vein Thrombosis pada Keganasan

Deep vein thrombosis (DVT) adalah terbentuknya trombus pada vena dalam yang sering terjadi pada tungkai, tetapi dapat juga terjadi pada bagian tubuh lainnya. Pada pasien dengan keganasan, patogenesis DVT masih belum sepenuhnya diketahui, karena sangat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara genetik dan lingkungan.[6,7]

Patofisiologi DVT berhubungan dengan trias Virchow, yaitu kerusakan dinding pembuluh darah, hiperkoagulasi, dan turbulensi aliran darah. Pasien dengan keganasan lebih berisiko DVT karena cenderung berada dalam keadaan hiperkoagulasi dan hipertrombotik akibat peningkatan produksi sitokin proinflamasi dari sel tumor.

Selain itu, adanya penurunan aliran darah dan shear stress serta hipoksia berperan dalam terjadinya kerusakan sel endotel dinding pembuluh darah pada pasien dengan keganasan. Serangkaian kejadian ini meningkatkan kejadian DVT pada kelompok ini.[6,7]

Akan tetapi, penatalaksanaan tromboembolisme menjadi rumit mengingat pasien dengan keganasan lebih berisiko mengalami kekambuhan serta perdarahan akibat pemberian antikoagulan.[6,7]

Peningkatan risiko DVT pada pasien keganasan mengakibatkan pentingnya identifikasi risiko dan pemeriksaan penapisan DVT untuk menentukan pasien mana yang membutuhkan profilaksis untuk mencegah terjadinya DVT. Diagnosis DVT didapat dari gejala klinis seperti nyeri, edema, dan eritema, serta bukti radiologi dari compression ultrasonography (CUS).[6,7]

Pilihan Antikoagulan sebagai Profilaksis Deep Vein Thrombosis pada Pasien Keganasan

Antikoagulan yang dapat digunakan sebagai profilaksis deep vein thrombosis dapat berupa heparin, selective parenteral indirect factor Xa inhibitor, atau direct oral anticoagulant.

Tabel 1. Pilihan Antikoagulan Profilaksis Deep Vein Thrombosis pada Pasien Keganasan

Antikoagulan Rawat inap Tindakan operatif Rawat jalan
Heparin
Unfractionated heparin 5.000 IU per 8 jam 5.000 IU 2–4 jam preoperatif dan per 8 jam setelah tindakan -
Bemiparin 3.500 anti–Xa IU per 24 jam 3.500 anti–Xa IU 2 jam preperatif atau 6 jam post-operatif dan 3.500 anti–Xa IU per 24 jam setelah tindakan 3.500 anti–Xa IU per 24 jam
Dalteparin 5.000 anti–Xa IU per 24 jam 5.000 anti–Xa IU 12 jam preoperatif dan 5.000 anti–Xa IU per 24 jam setelah tindakan 5.000 anti–Xa IU per 24 jam
Enoxaparin 4.000 anti–Xa IU per 24 jam 4.000 anti–Xa IU 12 jam preoperatif dan 4.000 anti-Xa IU per 24 jam setelah tindakan 4.000 anti–Xa IU per 24 jam
Nadroparin

3.800 anti–Xa IU per 24 jam

(bila berat badan >70 kg, 5.700 anti–Xa IU per 24 jam)

2.850 anti–Xa IU 2–4 jam preoperatif dan 2.850 anti-Xa IU per 24 jam setelah tindakan

3.800 anti–Xa IU per 24 jam

(bila berat badan >70 kg, 5.700 anti–Xa IU per 24 jam)

Tinzaparin 4.500 anti–Xa IU per 24 jam 4.500 anti–Xa IU per 24 jam  mulai 12 jam setelah tindakan 4.500 anti–Xa IU per 24 jam
Selective parenteral indirect factor Xa inhibitor
Fondaparinux 2,5 mg per 24 jam 2,5 mg per 24 jam mulai 6–8 jam setelah tindakan Belum ada studi cukup
Direct oral anticoagulant
Apixaban Tidak direkomendasikan Tidak direkomendasikan 2,5 mg per 12 jam PO
Rivaroxaban Tidak direkomendasikan Tidak direkomendasikan 10 mg per 24 jam PO

Sumber: dr. Michael Sintong Halomoan, 2022[5]

Profilaksis Deep Vein Thrombosis bagi Pasien Keganasan yang Membutuhkan Tindakan Operatif

Pertimbangan pemberian profilaksis deep vein thrombosis (DVT) pada pasien keganasan yang memerlukan tindakan operatif dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu faktor risiko pasien sendiri (seperti skor Caprini), tipe dan lama operasi (mayor atau minor), serta ada atau tidaknya kontraindikasi pemberian tromboprofilaksis pada pasien (seperti perdarahan aktif).[5]

Stratifikasi Risiko Deep Vein Thrombosis pada Pasien Keganasan Operatif

Faktor risiko deep vein thrombosis (DVT) pada pasien yang akan menjalani tindakan operatif terkait keganasan dapat dinilai menggunakan skor Caprini. Skor Caprini terdiri dari 31 pertanyaan mengenai usia, riwayat penyakit, serta jenis tindakan operatif yang dialami pasien dengan bobot skor berbeda.[5,8]

Skor Caprini digunakan sebagai stratifikasi risiko terjadinya tromboembolisme vena, termasuk deep vein thrombosis. Kategori skor terbagi menjadi lima, yaitu:

  • Risiko rendah, yaitu 0–2 poin
  • Risiko sedang, yaitu 3–4 poin
  • Risiko tinggi, yaitu 5–6 poin
  • Risiko sangat tinggi, yaitu 7–8 poin
  • Risiko super–high, yaitu >8[5,8]

Tromboprofilaksis Medikamentosa

Inisiasi tromboprofilaksis yang direkomendasikan adalah sebelum tindakan operatif terkait keganasan. Akan tetapi, pemberiannya harus menimbang risk dan benefit, karena sebagian besar pasien yang akan menjalani tindakan operatif memiliki risiko tinggi tromboembolisme vena dan perdarahan mayor.

Rekomendasi ITAC untuk waktu mulai pemberian profilaksis antikoagulan adalah antara 12 hingga 2 jam sebelum tindakan operatif dilakukan. Antikoagulan yang dapat digunakan sebagai inisiasi adalah heparin, dapat berupa unfractionated heparin (UFH) atau low molecular weight heparin (LMWH). Akan tetapi, LMWH lebih dipilih (bila klirens kreatinin ≥30 mL/min) karena risiko heparin–induced thrombocytopenia lebih rendah dari UFH.[1–5]

Tromboprofilaksis sebaiknya dilanjutkan setidaknya 7–10 hari setelah tindakan operatif. Pada tindakan operatif  dengan risiko tinggi, seperti tindakan di area abdomen dan/atau pelvis, baik laparotomi maupun laparoskopi, tromboprofilaksis dengan LMWH sebaiknya dilanjutkan hingga 4 minggu.

Pemberian tromboprofilaksis medikamentosa harus memperhatikan faktor risiko pasien, yaitu mobilitas terbatas, obesitas, riwayat tromboembolisme vena sebelumnya, waktu anestesi >2 jam, keganasan pada gastrointestinal, penyakit stadium akhir, kebutuhan bedrest setidaknya 4 hari, dan usia >60 tahun.[1–5]

Tromboprofilaksis Mekanik

Tromboprofilaksis mekanik merupakan metode pencegahan DVT dengan bantuan alat tertentu, seperti intermittent pneumatic compression, venous foot pump, atau graduated compression stockings.[1–5]

Metode mekanik tidak disarankan sebagai tromboprofilaksis utama bagi pasien yang akan menjalani tindakan operatif terkait keganasan. Akan tetapi, penggunaan tromboprofilaksis mekanik dapat dipertimbangkan pada pasien dan/atau tindakan operatif yang memiliki risiko tinggi perdarahan maupun memiliki kontraindikasi pemberian antikoagulan.

Metode ini juga dapat digunakan sebagai pendamping tromboprofilaksis medikamentosa, terutama pada pasien dengan risiko deep vein thrombosis sangat tinggi.[1–5]

Profilaksis Deep Vein Thrombosis bagi Pasien Keganasan Non Operatif

Pada pasien keganasan non operatif, risiko tromboemboli vena termasuk DVT meningkat pada mereka yang mengalami kanker aktif. Keadaan kanker aktif, seperti pasien dengan terapi yang sedang berjalan atau sedang menjalani terapi tetapi keganasan tetap mengalami rekurensi atau menjadi progresif.[5]

Stratifikasi Risiko Deep Vein Thrombosis pada Pasien Keganasan Non Operatif

Seperti pasien keganasan yang akan menerima tindakan operatif, stratifikasi risiko juga perlu dilakukan pada pasien dengan keganasan non operatif. Stratifikasi risiko ini dapat dilakukan dengan skor Khorana.

Skor Khorana merupakan alat penilaian risiko tromboembolisme vena yang mencakup parameter risiko lesi primer keganasan; kadar hemoglobin, leukosit, dan trombosit prekemoterapi; serta indeks massa tubuh (IMT). Kategori skor terbagi menjadi tiga, yaitu risiko rendah pada 0, risiko sedang yaitu 1–2, dan risiko tinggi ≥3.[5,9]

Pasien rawat jalan

Setiap pasien rawat jalan yang menerima kemoterapi berisiko lebih tinggi mengalami tromboembolisme vena, termasuk DVT. Tromboprofilaksis tidak direkomendasikan diberikan secara rutin pada pasien dengan keganasan, dimana pemberian tromboprofilaksis dilakukan dengan pertimbangan stratifikasi risiko. Pasien dengan risiko tromboembolisme vena rendah dan sedang tidak dianjurkan untuk menerima tromboprofilaksis.

Tromboprofilaksis dengan LMWH atau direct oral anticoagulant (DOAC) dianjurkan diberikan pada pasien dengan risiko tromboembolisme tinggi. Meskipun memiliki risiko tromboembolisme tinggi, pemberian tromboprofilaksis sebaiknya dilakukan dengan hati–hati pada pasien keganasan dengan risiko perdarahan tinggi.[1–5,10]

Pasien rawat inap

Pada setiap pasien keganasan yang dirawat inap akibat suatu kondisi akut atau penurunan mobilitas, tromboprofilaksis perlu diberikan bila tidak ditemukan adanya kontraindikasi pemberian obat maupun perdarahan.

Tromborofilaksis yang direkomendasikan pada pasien yang dirawat inap dapat berupa LMWH, UFH, atau fondaparinux. Pemberian tromboprofilaksis tidak dianjurkan untuk dilanjutkan setelah pasien selesai menjalani rawat inap.[1–5]

Pasien dengan multiple myeloma

Pasien dengan multiple myeloma memiliki risiko DVT yang tinggi. Hal ini karena berbagai faktor, di mana salah satu faktor risiko peningkatan risiko, seperti terapi medikamentosa berupa kombinasi obat imunomodulator dan kortikosteroid dosis tinggi. Setiap pasien multiple myeloma sebaiknya menjalani stratifikasi risiko tromboemboli vena.[1–5,11,12]

Pemberian aspirin 1.000 mg per 24 jam dapat dilakukan pada pasien multiple myeloma yang menerima terapi kombinasi obat imunomodulator dan kortikosteroid tanpa faktor risiko tambahan.

Pada pasien dengan risiko tromboembolisme vena tinggi, tromboprofilaksis dengan LMWH sebaiknya diberikan selama 3–6 bulan. Pemberian DOAC dapat dilakukan bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap LMWH selama nilai creatinine clearance lebih dari 30 ml/menit.[1–5,11,12]

Kesimpulan

Pasien dengan keganasan mengalami peningkatan risiko tromboembolisme vena, termasuk deep vein thrombosis (DVT). Pencegahan DVT menjadi penting dalam upaya mencegah peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien keganasan.

Terdapat berbagai pilihan antikoagulan yang dapat menjadi tromboprofilaksis, seperti heparin, selective parenteral indirect factor Xa inhibitor, atau direct oral anticoagulant. Terapi profilaksis DVT berbeda berdasarkan manajemen penyakit keganasan yang sedang diterima oleh pasien, di mana setiap terapi profilaksis didahului dengan stratifikasi risiko.

Pada pasien keganasan yang membutuhkan tindakan operatif, dapat diberikan tromboprofilaksis medikamentosa dalam waktu 12 hingga 2 jam sebelum tindakan dengan unfractionated heparin (UFH) atau low molecular weight heparin (LMWH), maupun tromboprofilaksis mekanik. Tromboprfilaksis sebaiknya dilanjutkan hingga setidaknya 7-10 hari setelah tindakan.

Pada pasien keganasan non operatif rawat jalan, tromboprofilaksis tidak rutin diberikan, kecuali pada pasien dengan risiko tromboembolisme tinggi. Lain halnya dengan pasien rawat inap, tromboprofilaksis dengan LMWH, unfractionated heparin (UFH), atau fondaparinux sebaiknya diberikan selama perawatan di rumah sakit.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Hendra Gunawan SpPD

Referensi