Tidak Semua Pasien Sindrom Koroner Akut Memerlukan Terapi Oksigen

Oleh :
dr. Nathania S. Sutisna

Pemberian terapi suplementasi oksigen pada pasien sindrom koroner akut (SKA) merupakan sebuah rutinitas yang dilakukan. Pemberian ini diharapkan dapat meningkatkan suplai oksigen ke sel-sel yang membutuhkan pada saat terjadi hipoksia. Salah satu komplikasi hipoksia adalah peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan otot jantung, oleh karena itu oksigen harus diberikan untuk pasien hipoksia. Namun, keuntungan terapi oksigen pada pasien SKA tanpa hipoksia terus diteliti, apakah dapat memberikan keuntungan atau membahayakan. Hipoksia dapat meningkatkan.[1,9]

Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut

Dalam pedoman tata laksana sindrom koroner akut dari PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia), disebutkan bahwa pasien dengan kecurigaan SKA melalui anamnesis perlu diberikan morfin, oksigen, nitrat, dan aspirin (MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Pedoman edisi keempat pada tahun 2018 ini telah terdapat perubahan dalam rekomendasi terapi oksigen, yaitu:

  • Pada semua pasien infark miokard akut elevasi ST (IMA-EST) harus dilakukan pengukuran saturasi oksigen perifer
  • Terapi oksigen hanya diindikasikan pada pasien dengan hipoksia, dengan SaO2 <90% atau PaO2 <60 mmHg
  • Terapi oksigen rutin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan SaO2 >90%[2]

shutterstock_458320087-min

Sedangkan pedoman tata laksana SKA dari AHA (American Heart Association) merekomendasikan pemberian oksigen pada kondisi berikut:

  • NSTEMI (non-ST elevation myocardial infarction): diberikan pada pasien dengan sianosis, saturasi O2 arteri <90%, distres napas atau pada keadaan hipoksia lainnya, dan pada 6 jam pertama tanpa status saturasi O2 arteri
  • STEMI (ST elevation myocardial infarction): pasien hipoksia dengan saturasi O2 <90%, gagal jantung, dan dispnea [3,4]

Penggunaan oksigen dalam kenyataannya masih sering digunakan pada pasien SKA akibat infark miokard tanpa memandang awitan dan pemeriksaan saturasi oksigen. Klinisi perlu memahami bahaya penggunaan terapi oksigen pada penyakit akut.

Rasionalisasi Penggunaan Oksigen pada Sindrom Koroner Akut

Infark miokard akut sebagai etiologi SKA adalah adanya ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen ke otot jantung. Berdasarkan patofisiologi tersebut maka suplementasi oksigen diharapkan dapat meningkatkan suplai ini ke otot jantung. Diharapkan infark tidak bertambah luas, dan komplikasi lain tidak terjadi.[5,6]

Pemberian suplemen oksigen dapat meningkatkan tekanan oksigen dalam darah hingga di atas 60 mmHg. Kurva disosiasi oksigen dan hemoglobin pada tekanan yang tinggi cenderung datar terhadap saturasi oksigen, sehingga saturasi oksigen di dalam darah tidak berubah secara signifikan terhadap tekanan oksigen yang terlalu tinggi. Karena itu, pemberian suplementasi oksigen dengan dosis 8‒10 L/menit biasa diberikan melalui nasal kanul. [5,6]

Di sisi lain, peningkatan oksigen di dalam darah berisiko terjadi peningkatan reactive oxygen species (ROS). ROS adalah molekul yang sangat reaktif, yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada sel. Efek dari ROS dicurigai dapat menyebabkan aritmia karena depolarisasi yang lebih cepat, kematian sel, dan vasokonstriksi yang menyebabkan penurunan aliran darah koroner yang akan memperberat iskemia, peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, dan berujung pada gagal jantung. Terdapat studi yang menjelaskan bahwa pemberian oksigen yang tidak pada tempatnya meningkatkan mortalitas pasien.[5]

Penelitian Manfaat dan Risiko Terapi Oksigen pada Sindrom Koroner Akut

Telah dilakukan berbagai studi terkait manfaat dan risiko pemberian terapi oksigen untuk pasien sindrom koroner akut. Baik pada pasien infark miokard, STEMI, maupun non STEMI.

Penelitian Klinis

Studi AVOID (Air versus Oxygen in Myocardial Infarction) dilaporkan pada tahun 2014 dan melibatkan sekitar 440 pasien STEMI yang secara random mendapatkan terapi oksigen 8 L/menit atau hanya udara ruangan. Studi ini menggunakan pemeriksaan enzim jantung, yaitu  kreatinin kinase (CK) dan troponin sebagai salah satu ukuran luas infark miokard. Hasil studi menemukan kadar puncak CK yang lebih tinggi secara signifikan ditemukan pada kelompok oksigen dibandingkan udara ruangan (1948 u/L vs 1543 u/L; means ratio: 1.27; 95% CI 1.04–1.52, p = 0.01). Sedangkan kadar puncak troponin yang tidak berbeda signifikan pada kedua kelompok (57.4 mcg/L vs 48.0 mg/L; ratio: 1.20; 95% CI, 0.92 – 1.56; p = 18%). Hasil diamati berikutnya adalah pada kelompok terapi oksigen lebih banyak ditemukan kejadian infark miokard berulang, aritmia jantung, serta lebih luas infark miokard yang diukur dengan cardiac magnetic resonance imaging (C-MRI) setelah 6 bulan.[8]

Penelitian di Swedia pada tahun 2017 melibatkan lebih dari 6000 pasien. Pada penelitian ini, pasien infark miokard akut dengan saturasi di atas 90% dibagi menjadi kelompok diberikan oksigen 6 L/menit dan kelompok diberikan udara ruangan. Hasil penelitian adalah perbandingan antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna dalam hal lama rawat (p = 0.87), kejadian infark berulang (p = 0.72), atrial fibrilasi onset baru (p = 0.53), atrioventricular block derajat 2 dan 3 (p = 0.24), syok kardiogenik (p = 0.17) dan kematian (p = 0.35). Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian oksigen pada infark miokard akut tidak menurunkan angka kematian setelah 1 tahun.[6]

Penelitian RCT terbaru dilaporkan pada tahun 2020, menyelidiki 95 pasien terdiagnosis STEMI dan menjalani MRI jantung pada hari kedua hingga keenam. Secara acak pasien dibagi menjadi kelompok mendapat terapi O2 10 L/menit dan kelompok udara ruangan. Ukuran hasil utama adalah Myocardium at Risk (MaR), Infarct Size (IS) dan Myocardial Salvage Index (MSI) yang diukur dengan MRI jantung, dan pemeriksaan laboratorium median troponin T sensitif tinggi (hs-cTnT). Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa lokasi aterosklerosis tidak mempengaruhi manfaat terapi oksigen pada pasien STEMI.[11]

Studi Meta Analisis

Studi analisis Cochrane pada tahun 2016, melibatkan 5 studi terkait pemberian oksigen pada total 1173 pasien infark miokard dan didapatkan 32 pasien meninggal. Ditemukan angka kematian yang tidak jauh berbeda antara kelompok oksigen dengan udara ruangan. Risk ratio terkumpul untuk kematian karena semua penyebab antara kelompok oksigen dan udara ruangan adalah 0.99 (CI 95%, 0.50–1.95) dan 1.02 (CI 95% 0.52–1.98) pada kasus yang terkonfirmasi sebagai infark miokard akut. Sehingga tidak dapat disimpulkan apakah oksigen dapat memberikan keuntungan atau kerugian pada infark miokard akut, dan efek sampingnya tidak diketahui.[7]

Studi metaanalisis tahun 2018 mempelajari berbagai penelitian tentang penggunaan terapi O2 tambahan yang diberikan pada pasien dengan dugaan acute myocardial infarction (AMI). Dianalisis 8 randomized clinical trial (RCT) yang melibatkan total 7998 peserta tanpa hipoksia, dimana 3982 masuk dalam kelompok O2 dan 4002 kelompok udara ruangan. Hasil studi menunjukkan bahwa terapi O2 tidak mengurangi risiko rawat inap atau mortalitas dalam 30 hari pada pasien dengan dugaan AMI, dan hasil serupa pada subkelompok pasien terkonfirmasi AMI. Ukuran infark berdasarkan MRI jantung pada subkelompok pasien terkonfirmasi AMI tidak berbeda antara kelompok dengan dan tanpa terapi O2. Terapi O2 menurunkan risiko hipoksemia. Kesimpulan studi ini adalah terapi O2 tambahan pada pasien AMI tanpa hipoksia tidak memiliki manfaat klinis yang penting.[9]

Kesimpulan

Penggunaan oksigen pada sindrom koroner akut (SKA), dengan saturasi oksigen yang baik atau di atas 95%, perlu dipertimbangkan efek keuntungan dan kerugiannya. Dalam berbagai studi ditemukan bahwa terapi suplementasi oksigen tidak memberikan manfaat besar pada pasien SKA jika dibandingkan dengan pasien dengan udara ruangan. Dalam studi AVOID ditemukan luas infark yang diukur melalui pemeriksaan enzim jantung dan MRI jantung, kejadian infark miokard berulang, dan aritmia ditemukan lebih tinggi pada kelompok yang diberikan oksigen. Efek kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan adalah kerusakan sel dan vasokonstriksi akibat reactive oxygen species (ROS). Jadi, pada kejadian SKA dengan saturasi oksigen yang baik tidak perlu menggunakan oksigen. Pedoman tata laksana SKA berdasarkan PERKI edisi keempat tahun 2018 menyebutkan terapi oksigen rutin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan SaO2 >90%.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi