Peningkatan Aktivitas Fisik Dapat Mencegah Sindrom Metabolik

Oleh :
dr. Eric Hartono Tedyanto

Berbagai studi dan rekomendasi telah menyerukan pentingnya peran aktivitas fisik dan olahraga dalam mengurangi prevalensi sindrom metabolik.

Saat ini, penyakit kronis dan tidak menular menjadi tantangan utama pada dunia kesehatan secara global. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit tidak menular, termasuk obesitas dan diabetes yang merupakan komponen sindrom metabolik, telah meningkat secara signifikan secara global. Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia adalah 28% pada pria dan 24% pada wanita.[1,2]

aktivitas fisik, aktivitas fisik untuk mencegah sindrom metabolik, aktivitas fisik untuk mencegah hipertensi, aktivitas fisik untuk mencegah kardiovaskular, aktivitas fisik untuk mencegah diabetes mellitus, aktivitas fisik untuk mencegah DM tipe 2, aktivitas fisik untuk mencegah DM tipe 2, aktivitas fisik untuk mencegah hiperglikemia, alomedika

Meskipun sindrom metabolik merupakan kondisi yang kompleks dan memiliki definisi yang beragam, komponennya (lingkar pinggang yang lebar, dislipidemia, hipertensi, dan resistensi insulin) secara umum dikaitkan dengan gaya hidup sedenter.

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai studi dilakukan untuk menunjukkan bahwa peningkatan jumlah aktivitas fisik memiliki efek menguntungkan pada masing–masing komponen sindrom metabolik. Aktivitas fisik juga tergolong hemat biaya, sehingga dapat diterapkan oleh banyak orang.[2,3]

Sekilas tentang Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik merupakan sekelompok kondisi yang muncul akibat peningkatan resistensi insulin dan kelainan deposisi lemak. Menurut National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III), sindrom metabolik dapat ditegakkan jika ada 3 dari 5 kriteria berikut:

  • Lingkar pinggang >120 cm pada pria atau >89 cm pada wanita
  • Tekanan darah ≥130/≥85 mmHg
  • Trigliserida puasa >150 mg/dL
  • High-density lipoprotein (HDL) kolesterol <40 mg/dL pada pria atau <50 mg/dL pada wanita

  • Glukosa darah puasa >100 mg/dL[4]

Belum diketahui secara pasti bagaimana sindrom metabolik terjadi atau bagaimana komponen yang berbeda dapat terkait akibat kausal tertentu, tetapi resistensi insulin diduga kuat merupakan patofisiologi yang umum.

Hal ini karena, terdapat bukti korelasi positif antara berat badan serta resistensi insulin dan risiko pengembangan semua kelainan metabolik yang terkait dengan resistensi insulin.[5,6]

Sekilas tentang Aktivitas Fisik

Menurut WHO, aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal yang membutuhkan pengeluaran energi. Terminologi aktivitas fisik harus dapat dibedakan dari ‘olahraga’.

Aktivitas fisik melibatkan gerakan tubuh dan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan sehari–hari, seperti bermain, bekerja, melakukan perjalanan, melakukan pekerjaan rumah, dan kegiatan rekreasi. Sedangkan olahraga, yang merupakan subkategori dari aktivitas fisik, merupakan kegiatan yang terencana, terstruktur, repetitif, dan bertujuan untuk meningkatkan atau memelihara kebugaran fisik.[7]

Intensitas aktivitas fisik mengacu pada tingkat kesulitan atau besarnya upaya yang diperlukan dalam melakukan suatu kegiatan, misalnya intensitas sedang dan berat. Akan tetapi, contoh intensitas tersebut dapat bervariasi pada masing–masing individu karena tergantung kebiasaan aktivitas fisik sebelumnya dan tingkat kebugaran relatif.

Contoh aktivitas fisik intensitas sedang adalah berkebun, melakukan pekerjaan rumah, berdansa, dan brisk walking. Sedangkan contoh aktivitas fisik intensitas berat adalah berlari, bersepeda dengan cepat, olahraga aerobik, dan olahraga kompetitif (bermain basket, sepak bola, dan voli).

Metabolic equivalents (MET) adalah rasio relatif laju metabolisme aktivitas terhadap laju metabolisme istirahat. Secara umum, MET digunakan untuk menentukan intensitas aktivitas fisik.[7]

Efektivitas Aktivitas Fisik dalam Mencegah dan Mengobati Sindrom Metabolik

Penurunan aktivitas fisik dikhawatirkan berpotensi mengurangi angka harapan hidup populasi, terutama yang berisiko mengalami sindrom metabolik. Akan tetapi, pengaruhnya sulit dihitung/ditentukan karena bervariasinya jenis dan intensitas aktivitas fisik yang diteliti.[8]

Efektivitas Aktivitas Fisik dalam Mencegah Sindrom Metabolik Di Lihat dari Leisure–Time Physical Activity (LTPA)

Studi meta analisis oleh Zhang et al mengukur hubungan dosis dan respons antara leisure–time physical activity (aktivitas saat waktu senggang) (LTPA) dan sindrom metabolik.

Hasilnya, terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara LTPA dan insidensi sindrom metabolik. Jika dibandingkan dengan individu yang tidak aktif, risiko sindrom metabolik berkurang sebesar 8% setiap adanya peningkatan LTPA sebesar 10 metabolic equivalent of task (MET) jam/minggu.[8]

Peningkatan LTPA ini sebanding dengan LTPA dasar yang direkomendasikan, yaitu 150 menit/minggu. Ketika intensitas LTPA digandakan, risiko sindrom metabolik berkurang lagi sebesar 20%. Pada intensitas yang lebih tinggi, yaitu 70 MET jam/minggu, risiko sindrom metabolik berkurang sampai 53%.

Dengan demikian, studi ini menunjukkan bahwa berapapun durasi/derajat LTPA masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Peningkatan LTPA secara substansial melebihi rekomendasi berhubungan dengan penurunan risiko sindrom metabolik.[8]

Efektivitas Aktivitas Fisik dalam Mencegah Sindrom Metabolik pada Individu Lanjut Usia dengan Obesitas

Dalam studi cross sectional, Xu et al meneliti hubungan antara aktivitas fisik dan sindrom metabolik pada individu lanjut usia dengan obesitas. Studi ini menilai tiga domain aktivitas fisik, yaitu pekerjaan, perjalanan, dan rekreasi. Dari 613 peserta, sebanyak 72% (431 peserta) masuk dalam kriteria sindrom metabolik dan 44,3% (263 peserta) di antaranya tidak memenuhi rekomendasi aktivitas fisik.[9]

Jika dibandingkan dengan peserta dengan aktivitas fisik rendah, peserta dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi memiliki risiko sindrom metabolik yang lebih rendah serta kadar HDL, kadar glukosa darah puasa (GDP), dan tekanan darah yang lebih baik. Meskipun demikian, metode penelitian cross sectional tidak dapat menentukan hubungan sebab akibat antara aktivitas fisik dan sindrom metabolik.[9]

Efektivitas Aktivitas Fisik sebagai Tata Laksana Sindrom Metabolik

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Ostman et al mengkaji 16 studi dengan total 77.000 peserta yang didiagnosis sebagai sindrom metabolik. Durasi olahraga yang diteliti bervariasi antara 8 minggu–1 tahun.

Jika dibandingkan dengan kelompok sedenter, kelompok yang melakukan olahraga aerobik menunjukkan penurunan pada indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, tekanan darah sistolik, GDP, trigliserida, dan low-density lipoprotein (LDL).[10]

Selain itu, VO2 maksimal (volume oksigen maksimal yang diproses oleh tubuh saat melakukan aktivitas yang intensif) secara signifikan meningkat pada pasien yang ditempatkan secara acak ke dalam kelompok olahraga.

Dengan demikian, studi ini menyimpulkan bahwa olahraga menghasilkan luaran kardiovaskular dan metabolik yang lebih baik pada pasien dengan sindrom metabolik. Untuk beberapa luaran klinis, kelompok yang hanya melakukan olahraga aerobik menunjukkan hasil yang optimal.[10]

Aktivitas Fisik dan Kekakuan Arteri

Beberapa studi telah dilakukan untuk menilai dampak buruk sindrom metabolik terhadap integritas pembuluh darah serta peran aktivitas fisik dalam menguranginya. Hasil temuan menunjukkan bahwa gaya hidup sedenter pada individu dengan sindrom metabolik berkaitan dengan profil kekakuan arteri yang lebih buruk.

Aktivitas fisik atau olahraga yang teratur dapat mengurangi dampak buruk sindrom metabolik pada pembuluh darah dan otak. Maka dari itu, pada pasien dengan sindrom metabolik, termasuk pasien yang sudah mengalami gangguan pada struktur dan fungsi arteri, harus diedukasi untuk meningkatkan aktivitas fisik.[11–14]

Rekomendasi Aktivitas Fisik untuk Dewasa

Mengingat bahwa prevalensi sindrom metabolik dan komponennya telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan sudah terbuktinya keterkaitan aktivitas fisik dengan faktor risiko metabolik, beberapa organisasi kesehatan telah mengeluarkan rekomendasi untuk aktivitas fisik.

World Health Organization (WHO) dan American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar orang dewasa yang berusia 18–64 tahun melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang minimal 150 menit/minggu, atau aktivitas fisik intensitas berat minimal 75 menit per minggu, atau kombinasi yang ekuivalen antara aktivitas fisik intensitas sedang dan berat. Aktivitas aerobik harus dilakukan setidaknya selama 10 menit dalam 1 sesi latihan.

Untuk manfaat kesehatan tambahan, orang dewasa harus meningkatkan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang sampai 300 menit/minggu, atau aktivitas fisik aerobik intensitas berat 150 menit/minggu, atau kombinasi yang ekuivalen antara aktivitas fisik intensitas sedang dan berat. Latihan penguatan otot harus dilakukan dengan melibatkan kelompok otot utama dalam 2 hari atau lebih per minggu.

Rekomendasi ini relevan untuk semua orang dewasa sehat berusia 18–64 tahun, kecuali kondisi medis tertentu mengkontraindikasikan aktivitas fisik. Rekomendasi ini juga berlaku untuk individu dengan kondisi kronis, seperti hipertensi dan diabetes, serta difabel atau disabilitas.[7,15]

Akan tetapi, penyesuaian untuk masing-masing individu berdasarkan risiko atau keterbatasan kesehatan tertentu perlu dilakukan. Pada kondisi khusus, seperti osteoarthritis, aktivitas fisik dapat disesuaikan dengan pedoman untuk osteoarthritis.[7,16]

Kesimpulan

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa gaya hidup sedenter berkaitan dengan terjadinya sindrom metabolik. Efektivitas aktivitas fisik terhadap sindrom metabolik juga sudah terbukti secara ilmiah.

Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik. Jika intensitasnya ditingkatkan melebihi yang direkomendasikan (150 menit/minggu), efek pengurangan risiko akan lebih besar. Selain itu, aktivitas fisik juga dapat mengurangi dampak buruk dari sindrom metabolik pada pembuluh darah dan otak pasien sindrom metabolik.

WHO dan AHA merekomendasikan agar orang dewasa yang berusia 18–64 tahun melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang minimal 150 menit per minggu, atau aktivitas fisik intensitas berat minimal 75 menit per minggu, atau kombinasi yang ekuivalen antara aktivitas fisik intensitas sedang dan berat.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi