Menelaah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Tuberkulosis 2019

Oleh :
Audric Albertus

Pada akhir tahun 2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) mengenai tata laksana tuberkulosis (TB), yang terlampir pada keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/755/2019. Pada PNPK tuberkulosis 2019 ini terdapat beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan bukti ilmiah dan rekomendasi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pembuatan PNPK terbaru ini bertujuan untuk mencapai visi TB dari WHO, yaitu dunia yang bebas tuberkulosis dengan angka nol kematian, penyakit, dan kesengsaraan akibat TB pada tahun 2030.[1,2]

Pembaruan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Tuberkulosis

Terdapat beberapa perbedaan antara Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tata laksana tuberkulosis tahun 2019 dibandingkan dengan keluaran sebelumnya yaitu tahun 2013. Perubahan ini mencakup perubahan terminologi, alur diagnosis dan terapi, serta penambahan pembahasan baru.

shutterstock_1707787729

Perubahan Terminologi Klasifikasi Tuberkulosis

Beberapa bagian pada klasifikasi tuberkulosis (TB) telah diubah pada PNPK tuberkulosis 2019, yaitu mengganti klasifikasi ‘kasus setelah putus obat’ menjadi ‘kasus setelah loss to follow up’ dan ‘kasus dengan riwayat pengobatan lainnya’ menjadi ‘kasus lain-lain’. Selain itu, terminologi kasus TB BTA negatif sudah tidak digunakan lagi dan diganti menjadi TB terkonfirmasi klinis. Perubahan yang dilakukan hanya terminologi saja, dan tidak terdapat perubahan definisi.

Klasifikasi ‘pasien pindah’ yang tertera pada PNPK tahun 2013 sudah tidak lagi digunakan pada PNPK tahun 2019 dan diganti menjadi “tidak dievaluasi”. Pada kategori pasien TB resisten obat (RO) juga terdapat tambahan satu tipe, yaitu Pre-extensive drug resistance (pre-XDR) yang didefinisikan sebagai resistensi terhadap satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu obat antituberkulosis (OAT) injeksi lini kedua.[1,3]

Perubahan Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis

Pendekatan diagnosis tuberkulosis (TB) pada PNPK terbaru sedikit berbeda dengan PNPK tahun 2013. Pada PNPK TB 2019, pasien terduga TB dapat dibagi berdasarkan faktor risiko, seperti riwayat pengobatan TB, riwayat kontak, dan status HIV. Pada pasien dengan faktor risiko tinggi terjadinya TB dan resistensi obat, pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) TB dapat dilakukan. Sedangkan, pada pasien terduga TB dengan faktor risiko rendah dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis dan bakteriologis atau TCM, bergantung pada ketersediaan fasilitas kesehatan. Berbeda dengan PNPK tahun 2013, yang menganjurkan seluruh pasien suspek tuberkulosis dilakukan pemeriksaan bakteriologis tanpa pembagian faktor risiko.[1,3]

Penambahan Pemeriksaan Uji Kepekaan Mycobacterium tuberculosis

Uji diagnostik molekular cepat dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis (TB) dan resistensi obat. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF, atau lebih dikenal sebagai tes cepat molekular (TCM) merupakan salah satu pemeriksaan yang tercantum pada PNPK dalam uji resistensi rifampicin.

Pada PNPK terbaru, ditambahkan informasi mengenai uji Line Probe Assay (LPA), atau dikenal sebagai Hain test/Genotype yang dapat digunakan untuk mendeteksi resistensi tuberkulosis terhadap obat antituberkulosis. Terdapat dua macam LPA, yaitu lini pertama dan kedua. LPA lini pertama (Hain test/Genotype MTBDR) bisa mendeteksi resistensi tuberkulosis terhadap obat rifampicin dan isoniazid. LPA lini kedua (Hain test/Genotype MTBDRsl) bisa mendeteksi resistensi terhadap obat injeksi lini kedua dan golongan fluorokuinolon.[1,3]

Perubahan Pendekatan Terapi Tuberkulosis Resisten Obat

Pada PNPK 2019 terdapat perubahan pendekatan terapi pada kasus TB Resisten obat (RO) dibandingkan dengan PNPK 2013. Pada PNPK 2013, kasus TB resistensi obat ganda diterapi dengan minimal 6 bulan fase intensif menggunakan obat pyrazinamide (Z), ethambutol (E), kanamisin (Kn), levofloxacin (Lfx), etionamid (Eto), cycloserine (Cs), dan dilanjutkan dengan 18 bulan fase lanjutan dengan obat pyrazinamide, ethambutol, levofloxacin, etionamid, dan cycloserine (6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs).

Pada PNPK 2019, pasien terduga TB-RO terlebih dahulu dibedakan berdasarkan hasil TCM, yaitu TB rifampicin sensitif dan TB rifampicin resisten (RR). Pada TB rifampicin sensitif dapat dilakukan terapi sesuai dengan OAT lini pertama. Namun, pada pasien TB RR dapat dilakukan pemeriksaan tambahan, berupa LPA lini kedua untuk mengetahui resistensi terhadap obat injeksi lini kedua atau fluorokuinolon. Berdasarkan hasil tersebut, baru ditentukan apakah pasien dapat diterapi dengan regimen TB RO jangka pendek atau jangka panjang.

Pengobatan TB RO dengan panduan jangka pendek meliputi total pengobatan selama 9-11 bulan. Kriteria untuk mendapatkan pengobatan TB RO jangka pendek adalah:

  • Tidak ada bukti resisten terhadap fluorokuinolon atau obat injeksi lini kedua
  • Tidak ada kontak dengan pasien TB pre/XDR
  • Tidak pernah mendapatkan OAT lini kedua ≥ 1 bulan
  • Tidak terdapat intoleransi terhadap obat-obat pada panduan standar jangka pendek
  • Tidak hamil
  • Bukan kasus TB ekstra paru berat

Apabila pasien memenuhi kriteria tersebut dan hasil kepekaan obat TB sensitif terhadap fluorokuinolon dan atau obat injeksi lini kedua, maka pasien dapat diberikan pengobatan TB RO jangka pendek.

Terapi TB RO jangka pendek meliputi tahap awal selama 4-6 bulan dan tahap lanjutan selama 5 bulan. Pada tahap awal pengobatan, pasien diberikan 7 jenis obat OAT, yaitu kanamisin (Km), etionamid (Eto)/Protionamid (Pto), Isoniazid (H) dosis tinggi, moxifloxacin (Mfx), Clofazimin (Cfz), Ethambutol (E), Pyrazinamide (Z), yang dilanjutkan dengan tahap lanjutan menggunakan empat jenis obat, yaitu moxifloxacin, clofazimine, ethambutol, dan pyrazinamide. Pada keadaan tidak terjadinya konversi BTA pada bulan ke empat, maka durasi terapi tahap awal dapat diperpanjang menjadi 6 bulan yang menjadikan total pengobatan menjadi 11 bulan. [1,3]

Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria TB RO jangka pendek atau resisten terhadap fluorokuinolon dan/atau obat injeksi lini kedua, maka pasien dapat diberikan terapi individual atau jangka panjang. Jenis terapi ini merupakan landasan terapi TB RO pada PNPK 2013. Pada terapi jangka panjang berdasarkan PNPK 2019, klinisi memilih setidaknya lima obat yang terdiri atas tiga obat dari grup A yaitu levofloxacin (Lfx) atau moxifloxacin (Mfx), bedaquiline (Bdq), linezolid (Lzd); dan dua obat dari kelompok B yaitu clofazimine (Cfz) dan cycloserine (Cs) atau terizidone (Trd). Pada sisa perawatan, dapat diberikan setidaknya tiga obat setelah bedaquiline dihentikan. Total pengobatan umumnya memiliki durasi minimal 20 bulan. Salah satu regimen yang dapat diberikan adalah 6 Bdq – Lfx – Lnz – Cfz – Cs / 14 Lfx – Lnz – Cfz – Cs.[1,3]

Pengobatan Pencegahan TB Pada Pasien HIV

PNPK 2019 menambahkan bagian pemberian pengobatan pencegahan TB pada pasien HIV. Terdapat dua pilihan terapi untuk pasien HIV tanpa TB, yaitu isoniazid 300 mg/hari selama 6 bulan dan vitamin B6 dosis 25 mg/hari atau rifapentine 900 mg dan isoniazid 15 mg/kgBB selama 12 minggu.[1,3]

Panduan Terapi TB dengan Hepatitis Imbas Obat

Pada PNPK 2013, panduan terapi OAT pada pasien hepatitis imbas obat hanya menyatakan untuk menghentikan OAT hepatotoksik dan pemberian isoniazid desensitisasi saat kondisi klinis dan laboratorium normal. Hal ini sedikit berbeda dengan PNPK 2019 yang menyarankan penggunaan rifampicin dengan dosis naik perlahan sampai dosis penuh pada saat gejala klinis dan laboratorium normal. Kemudian, dilakukan penambahan isoniazid dengan dosis naik perlahan sampai dosis penuh. Apabila rifampicin tidak dapat ditoleransi, maka dapat diberikan regimen 2HES/10 HE. Sedangkan apabila isoniazid tidak dapat ditoleransi, maka dapat diberikan regimen 6-9 RZE.[1,3]

Tuberkulosis dengan Reaksi Alergi pada Kulit

Pada PNPK 2019 terdapat penambahan pembahasan baru mengenai salah satu bagian keadaan khusus, yaitu TB dengan reaksi alergi pada kulit. Pada pasien yang sedang dalam terapi OAT dan mengalami ruam kulit, maka disarankan OAT untuk dihentikan. Kemudian obat OAT diberikan dengan dosis bertingkat secara bertahap selama 3 hari. Namun, apabila terjadi ruam kembali, maka OAT dapat dihentikan sementara dan kemudian melakukan drug challenging, yaitu pemberian OAT kembali secara satu per satu dengan peningkatan dosis bertahap selama 3 hari. Apabila tidak terdapat reaksi, maka ditambahkan satu macam OAT kembali dan seterusnya. Namun, apabila terdapat reaksi, maka dapat diketahui jenis OAT tersebut yang menjadi penyebab reaksi alergi pada kulit pasien dan penggantian obat dapat dilakukan.[1,3]

Tuberkulosis Laring, Telinga, dan Mata

Tuberkulosis laring, telinga, dan mata merupakan pembahasan baru yang dimasukkan oleh PNPK TB 2019 pada bagian TB ekstra paru. TB laring dapat didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi dan pemeriksaan respons jaringan setelah mendapatkan terapi OAT, yaitu 2 RHZE/4RH.

Mastoiditis TB dapat didiagnosis dengan CT Scan tulang temporal. Apabila terdapat hasil jaringan granulasi pada telinga tengah dan rongga mastoid disertai destruksi tulang tanpa bukti kolesteatoma, maka terapi OAT selama 12 bulan dapat diberikan. Namun, apabila tidak terdapat penemuan tersebut, maka dilakukan timpanomastoidektomi dan pemeriksaan BTA, kultur, PCR, dan histopatologi. Apabila hasil positif TB, maka dapat diberikan OAT.

Diagnosis TB intraokular dapat ditegakkan bila terdapat tanda klinis TB intraokular dan konfirmasi mikrobiologi M. tuberculosis pada cairan atau jaringan okular. Pengobatan pada TB mata sama dengan prinsip pengobatan TB ekstra paru. [1,3]

Tuberkulosis Laten

PNPK 2019 menambahkan bab tuberkulosis laten pada panduannya, yang sebelumnya tidak dibahas pada PNPK 2013. Tuberkulosis laten merupakan terinfeksinya pasien dengan kuman M. tuberculosis tanpa adanya tanda dan gejala klinis tuberkulosis umum.  Diagnosis TB laten hanya dapat melalui pemeriksaan uji tuberkulin dan IGRA (interferon gamma release assay).

Terdapat lima pilihan terapi untuk TB laten, yaitu:

  • Isoniazid selama 6 bulan
  • Isoniazid selama 9 bulan
  • Isoniazid dan rifapentine sekali seminggu selama 3 bulan
  • Isoniazid dan rifampicin selama 3-4 bulan
  • Rifampicin selama 3-4 bulan[1,3]

Perbandingan PNPK Tuberkulosis 2019 dengan Panduan WHO

Terdapat beberapa perbedaan pada penanganan tuberkulosis pada PNPK tuberkulosis (TB) 2019 dengan panduan TB dari WHO. Perbedaan tersebut meliputi panduan pada beberapa kelompok TB, seperti TB sensitif obat, TB resisten obat (RO), TB laten, dan TB anak.

Perbedaan Terapi Kasus TB Sensitif Obat

Pada pasien TB kasus baru masih direkomendasikan regimen 2RHZE/4RH, baik pada panduan PNPK 2019 dan WHO.

Sebagai terapi alternatif TB kasus baru, PNPK TB 2019 masih menganjurkan regimen 2RHZE/4R3H3. Sedangkan WHO, sudah tidak lagi merekomendasikan regimen ini dan menyarankan penggunaan dosis harian.

Selain itu, pada pasien pengobatan ulang, regimen 2RHZES/1RHZE/5RHE masih direkomendasikan di PNPK TB. Sedangkan, WHO menyebutkan bahwa regimen kategori II sudah tidak dapat diberikan dan dapat dilanjutkan langsung dengan pemeriksaan resistensi obat.  Hal ini karena terdapat studi yang menunjukkan bahwa hasil pengobatan regimen kategori II pada pasien pengobatan ulang memiliki angka keberhasilan yang cukup rendah (68%).[1,4]

Perbedaan Panduan TB Resisten Obat

Pada kasus TB resisten obat (RO), PNPK mencantumkan pemeriksaan konversi BTA untuk pemantauan keberhasilan pengobatan. Berbeda dengan WHO yang lebih menganjurkan  pemeriksaan apusan sputum mikroskopis dan kultur dibandingkan dengan hanya melakukan apusan sputum mikroskopis.

PNPK TB 2019 menganjurkan terapi pasien TB RO jangka panjang menggunakan lima OAT, yang mencakup 3 obat dari grup A dan 2 obat dari grup B. Berbeda dengan panduan WHO yang menyarankan regimen konvensional TB dengan lima obat, yaitu pyrazinamide dan 4 OAT lini kedua, yaitu satu obat dari grup A, satu obat dari grup B, dan dua obat dari grup C. Pemberian isoniazid dosis tinggi dan atau ethambutol juga direkomendasikan.

Durasi pemberian regimen TB Multidrug resistant (MDR) konvensional fase intensif yang disarankan pada PNPK adalah 6 bulan. Sedangkan WHO menyarankan fase intensif regimen TB MDR diberikan selama 8 bulan dengan lama terapi bergantung pada respons pasien. Tindakan reseksi paru parsial elektif (lobektomi atau reseksi wedge) telah direkomendasikan oleh WHO dalam terapi pasien resisten rifampicin atau TB MDR.[1,5]

Perbedaan Terapi TB Laten

Pada pasien TB laten, pengobatan lini pertama yang disarankan masih berupa isoniazid selama 6 bulan. Terapi alternatif yang disarankan pada PNPK 2019 adalah isoniazid selama 9 bulan, isoniazid dan rifapentine sekali seminggu selama 3 bulan, isoniazid dan rifampicin selama 3-4 bulan, atau rifampicin selama 3-4 bulan.

Pada panduan WHO, terapi alternatif yang lebih disarankan adalah penggunaan kombinasi rifampicin dan isoniazid setiap hari selama 3 bulan pada pasien anak-anak dan remaja usia < 15 tahun dan kombinasi rifampentin dan isoniazid setiap minggu selama 3 bulan pada pasien dewasa dan anak-anak. Pilihan terapi isoniazid selama 9 bulan dan terapi rifampicin selama 3-4 bulan lebih disarankan penggunaannya pada negara dengan insiden TB yang rendah. [1,6]

Perbedaan Panduan Diagnosis Dan Terapi TB Anak

Diagnosis tuberkulosis paru pada pasien anak berdasarkan PNPK 2019 masih bergantung pada pertimbangan klinis. Sulitnya pemeriksaan bakteriologis pada anak, terutama pada anak usia di bawah 5 tahun, menjadi kendala dalam diagnosis TB anak.

Berdasarkan rekomendasi PNPK TB 2019, anak dengan suspek TB dapat menjalani pemeriksaan mikroskopis sebagai pemeriksaan utama atau pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) sebagai pemeriksaan alternatif.

Pada panduan WHO, pemeriksaan TCM dengan Xpert MTB/RIF lebih diutamakan dibandingkan pemeriksaan bakteriologis pada pasien anak suspek TB. Sedangkan, pada pasien anak dengan TB ekstra paru, WHO masih merekomendasikan pemeriksaan mikroskopis sebagian pemeriksaan utama dan pemeriksaan Xpert MTB/RIF sebagai pemeriksaan alternatif untuk diagnosis.

Pada PNPK 2019, diagnosis tuberkulosis laten pada pasien anak ditegakkan apabila uji tuberculin atau interferon-gamma release assay (IGRA) memiliki hasil positif tanpa disertai gejala umum atau radiologi yang spesifik. Namun, WHO menyatakan bahwa pemeriksaan IGRA tidak dapat menggantikan tes tuberkulin dalam diagnosis tuberkulosis laten pada anak.

Terapi tuberkulosis anak pada PNPK dan WHO tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Terdapat beberapa tambahan rekomendasi pada pedoman WHO, seperti fase lanjutan pada pasien anak dengan tuberkulosis yang tidak terinfeksi HIV dapat diberikan dengan regimen tiga kali seminggu yang disertai directly-observed therapy (DOT). Selain itu, pada pasien anak dengan TB meningitis atau osteoartikular, lebih direkomendasikan 2RHZE pada fase intensif dibandingkan dengan 2RHZS yang merupakan salah satu pilihan terapi pada rekomendasi PNPK TB 2019.[1,7]

Perbandingan PNPK Tuberkulosis 2019 dengan Panduan CDC

Secara garis besar, panduan tuberkulosis oleh CDC tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan PNPK TB 2019.

Perbedaan Terapi Pada TB Kasus Baru

Berdasarkan rekomendasi CDC dan PNPK TB 2019, terapi lini pertama tuberkulosis pada dewasa masih merupakan 2RHZE/4RH. Namun, rekomendasi CDC menyatakan bila pasien terbukti tidak memiliki resistensi terhadap isoniazid dan rifampicin, maka terapi ethambutol dapat dihentikan dan fase intensif dilanjutkan dengan hanya isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Selain itu, terdapat beberapa tambahan pilihan OAT lini pertama pada rekomendasi CDC, yaitu rifabutin, dan rifapentin.

Pada panduan CDC, pasien dengan kavitasi pada x-ray thoraks atau hasil kultur positif setelah terapi OAT bulan kedua disarankan untuk menambah terapi fase lanjutan sebanyak 3 bulan. Hal ini berbeda dengan PNPK 2019 yang menyatakan bila tidak terdapat respons pengobatan setelah terapi fase intensif, maka dilakukan TCM atau biakan untuk mendeteksi TB MDR dan terapi dapat ditunda terlebih dulu sembari menunggu hasil pemeriksaan.[1,8]

Terapi Pada TB Dengan HIV Tanpa Antiretroviral

Pada terapi pasien HIV dengan TB, rekomendasi CDC juga menganjurkan memperpanjang terapi fase lanjutan selama 3 bulan pada pasien HIV yang menggunakan OAT tanpa antiretroviral. [8]

Pemberian Kortikosteroid Pada TB Perikardial

Terapi kortikosteroid pada pasien tuberkulosis perikardial masih diperdebatkan. Pada PNPK 2019, pemberian kortikosteroid dengan prednisolon 1 mg/kgBB disarankan penggunaannya untuk mencegah reakumulasi cairan. Akan tetapi, menurut rekomendasi CDC, sebaiknya pemberian kortikosteroid tidak rutin diberikan pada pasien tuberkulosis perikardial dan hanya diberikan pada pasien dengan risiko komplikasi yang tinggi.[1,8]

Perbedaan Terapi TB Resisten Obat

Pilihan OAT pada pasien TB resisten obat (RO) umumnya hampir sama antara PNPK dengan CDC. Akan tetapi, pilihan obat ethionamide/prothionamide tidak disarankan penggunaannya pada CDC dikarenakan tidak ditemukan adanya keuntungan. Namun, pada PNPK pilihan obat tersebut masih dimasukkan dalam kelompok C.

Pengobatan pasien TB RO jangka pendek telah disarankan penggunaannya di Indonesia oleh PNPK. CDC sampai sekarang masih lebih merekomendasikan pengobatan TB RO dengan terapi jangka panjang dan menyatakan bahwa penggunaan terapi jangka pendek tidak lebih baik dibandingkan dengan jangka panjang.

Sama dengan WHO, tindakan operatif seperti lobektomi atau reseksi wedge juga telah direkomendasikan oleh CDC dalam terapi TB MDR. Namun, pada PNPK belum ada rekomendasi terkait penggunaan tindakan operatif.

Panduan CDC juga menambahkan rekomendasi pengobatan pada pasien yang mengalami monoresistensi isoniazid. Pada kasus ini, pasien disarankan melakukan regimen 6 bulan rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide yang disertai dengan terapi fluorokuinolon generasi akhir. Pada kasus tertentu, seperti kasus nonkavitas dan tingkat keberatan penyakit yang rendah, durasi pemberian pyrazinamide dapat dikurangi menjadi 2 bulan. Terapi kasus monoresisten isoniazid belum dicantumkan pada PNPK 2019.[1,9]

Perbedaan Panduan TB Laten

Pada PNPK, terapi yang lebih disarankan adalah isoniazid selama 6-9 bulan. Sedangkan, CDC lebih merekomendasikan penggunaan rifampicin harian selama 4 bulan pada pasien dewasa dan anak TB laten dengan HIV negatif. Hal ini karena regimen rifampicin 4 bulan ditemukan lebih efektif secara klinis dibandingkan isoniazid 9 bulan.[1,10]

Kesimpulan

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tuberculosis (TB) tahun 2019 memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan PNPK TB 2013, seperti perubahan terminologi, alur diagnosis dan terapi, serta penambahan pembahasan. Pada PNPK 2019, salah satu yang menjadi sorotan adalah perbedaan alur diagnosis TB yang menganjurkan pasien suspek TB tidak lagi seluruhnya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Pada pasien yang dicurigai memiliki resistensi obat, dapat langsung dilakukan pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) tanpa pemeriksaan bakteriologis.

PNPK TB 2019 juga mengganti terapi TB resisten obat (RO) dengan memperkenalkan pedoman baru, yaitu pengobatan jangka pendek yang dapat diberikan apabila pasien sudah sesuai kriteria. Hal ini berbeda dengan terapi TB RO pada PNPK 2013 yang mengharuskan penggunaan terapi jangka panjang.

Beberapa pembahasan baru, yaitu TB dengan reaksi alergi pada kulit, TB laring, telinga, dan mata, dan TB laten juga ditambahkan pada PNPK ini.

Referensi