Menangani Efek Samping Terapi Tuberkulosis

Oleh :
dr. Reren Ramanda

Efek samping obat antituberkulosis masih menjadi salah satu hambatan penanganan tuberkulosis. Meskipun tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat disembuhkan, tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan bermakna di seluruh dunia. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kepatuhan pasien terhadap terapi. Banyak faktor dapat mempengaruhi rendahnya kepatuhan terapi tuberkulosis, dimana salah satunya adalah efek samping yang ditimbulkan oleh obat-obatan antituberkulosis.[1-3]

Efek samping yang bersifat minor pada umumnya mudah diatasi. Namun, pada kasus berat, kondisi tersebut dapat mengancam nyawa. Contoh efek samping berat dari terapi antituberkulosis adalah gagal hati, gagal ginjal, dan syok.[1]

Menangani Efek Samping Terapi Tuberkulosis-min

Regimen Terapi Tuberkulosis

Saat ini, terdapat beberapa lini regimen obat antituberkulosis (OAT) yang dapat dipilih. Regimen terapi pada pasien yang belum mengalami resistensi umumnya melibatkan rifampicin (R), isoniazid (H), pyrazinamide (Z), dan ethambutol (E). Obat lain yang juga digunakan dalam terapi tuberkulosis antara lain streptomycin (S), levofloxacin, dan amikacin.

Terapi standar lini pertama yang dianjurkan untuk tuberkulosis kasus baru adalah 2RHZE/4RH, yaitu 2 bulan terapi fase intensif dan 4 bulan terapi fase lanjutan. Jika regimen tersebut tidak tersedia, maka dapat diganti menjadi 2RHZE/4R3H3.[1,2]

Potensi Efek Samping Obat Antituberkulosis

Mayoritas kasus tuberkulosis dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping bermakna. Namun, pada sebagian kecil kasus, dapat terjadi efek samping signifikan yang mengganggu kualitas hidupi. Pemantauan gejala klinis selama pengobatan sangat penting agar efek samping dapat dideteksi segera dan dikelola secara tepat.[4-6]

Tabel 1. Potensi Efek Samping Obat Antituberkulosis

OAT Risiko Efek Samping
Isoniazid Neuropati perifer, hepatitis, Drug-induced lupus erythematosus (DILE), gangguan gastrointestinal, ruam kulit
Ethambutol Neuropati optik atau retrobulbar neuritis, neuropati perifer, hepatotoksisitas, psikosis, neuritis perifer, disorientasi
Rifampicin Pruritus, mual, muntah, flu-like symptoms, hepatotoksisitas.
Pyrazinamide Hepatotoksisitas, mual, muntah, poliartralgia, gout arthritis, ruam, dermatitis, fotosensitivitas

Sumber: dr. Reren, 2022.[5,7,8]

Potensi Efek Samping Minor

Efek samping obat antituberkulosis dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping minor umumnya dapat melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik.

Potensi efek samping minor dari obat antituberkulosis antara lain:

  • Gastrointestinal: anoreksia, mual, dan nyeri perut dapat disebabkan oleh pyrazinamide, rifampicin, ataupun isoniazid
  • Neuromuskuloskeletal: nyeri sendi, rasa terbakar, kebas atau kesemutan di tangan dan kaki dapat disebabkan oleh isoniazid
  • Genitourinaria: air kemih berwarna kemerahan, dapat disebabkan oleh rifampicin
  • Efek samping umum: rasa mengantuk akibat penggunaan isoniazid, serta flu-like symptoms akibat rifampicin[1]

Potensi Efek Samping Mayor

Pada pasien yang mengalami efek samping mayor, obat atau kombinasi obat yang dicurigai menyebabkan sebaiknya dihentikan. Potensi efek samping mayor akibat obat antituberkulosis adalah:

  • Kulit: ruam kulit dengan atau tanpa gatal, dapat disebabkan oleh streptomycin, isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide
  • Telinga: tuli, vertigo, dan nistagmus dapat disebabkan oleh streptomycin
  • Oftalmologi: gangguan penglihatan, dapat disebabkan oleh ethambutol
  • Imunologi: Syok, purpura, dan gagal ginjal akut, dapat disebabkan oleh rifampicin
  • Ikterus tanpa penyakit hepar, dapat disebabkan oleh streptomycin, isoniazid, rifampicin, pyrazinamide
  • Konfusi dapat disebabkan oleh sebagian besar obat antituberkulosis. Perlu dicurigai terjadi gagal hati jika disertai ikterik[1]

Penatalaksanaan Umum Efek Samping Obat Antituberkulosis

Pemantauan dengan pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien umumnya tidak dibutuhkan. Sebelum mendapat terapi, pasien diedukasi mengenai potensi gejala efek samping yang dapat timbul selama pengobatan. Efek samping yang terjadi pada pasien dan tata laksana yang diberikan harus selalu dicatat pada kartu pengobatan.

Penanganan Umum Efek Samping Mayor

Pada pasien yang mengalami efek samping mayor, obat atau kombinasi obat antituberkulosis yang dicurigai menyebabkan perlu dihentikan. Pasien diberikan penatalaksanaan awal jika terdapat kegawatdaruratan, kemudian pertimbangkan perlunya rujukan.

Keputusan mengenai kapan pasien dapat diberikan obat kembali dan bagaimana dosisnya tergantung pada klinisi yang merawat. Secara umum, obat dapat dimulai satu per satu secara perlahan, atau obat yang diketahui menyebabkan efek samping berat dapat diganti menjadi agen lain.[1,9,10]

Penanganan Umum Efek Samping Minor

Pasien yang mengalami efek samping minor umumnya dapat melanjutkan terapi antituberkulosis. Penanganan yang dilakukan bersifat suportif. Sebagai contoh, pada pasien yang mengalami keluhan muskuloskeletal, seperti nyeri, dapat diberikan analgesik paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) misalnya diklofenak.[1,2]

Tabel 3. Penatalaksanaan Efek Samping Minor Obat Antituberkulosis

Efek Samping Penatalaksanaan
Anoreksia, mual, nyeri perut Obat dikonsumsi sebelum tidur, atau diberikan bersama sedikit makanan
Nyeri sendi Diberikan analgesik seperti paracetamol atau OAINS
Rasa terbakar, kebas atau kesemutan area tangan dan kaki (neuropati perifer) Diberikan piridoksin 50-75 mg/hari
Mengantuk Obat dikonsumsi sebelum tidur
Perubahan warna urine Edukasi bahwa hal tersebut tidak berbahaya
Flu-like symptoms Pemberian rifampicin intermiten diubah menjadi rutin setiap hari

Sumber: dr.Reren, 2022.[1,2]

Penatalaksanaan Efek Samping Reaksi Alergi pada Kulit

Jika pasien yang mengonsumsi obat antituberkulosis (OAT) mengalami reaksi alergi kulit tanpa ruam dan tidak ada penyebab yang jelas selain OAT, maka dapat diberikan obat simtomatik dengan antihistamin seperti fexofenadine dan pelembab kulit. Konsumsi OAT dapat dilanjutkan sembari dilakukan pemantauan.

Jika kemudian terjadi ruam, OAT harus dihentikan sementara. Selanjutnya, perlu dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan reaksi kulit dengan ”drug challenge”:

  • Setelah reaksi diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap dimulai dari obat yang kecil kemungkinan menimbulkan reaksi. Dosis diberikan dari dosis terkecil dan ditingkatkan bertahap hingga dosis penih dalam 3 hari
  • Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa OAT tersebut adalah penyebab reaksi pada kulit. Pengobatan dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab
  • Jika obat yang menyebabkan alergi adalah pyrazinamide, ethambutol, atau streptomycin, regimen terapi dapat diganti dengan obat lain
  • Jika obat penyebab adalah rifampicin atau isoniazid, dapat coba dilakukan desensitisasi. Desensitisasi tidak diperbolehkan pada pasien HIV-positif karena berpotensi menyebabkan toksisitas berat[1]

Penatalaksanaan Efek Samping Hepatitis Imbas Obat

Hepatitis imbas obat atau drug induced liver injury (DILI) adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik. Gejala yang paling sering muncul adalah mual, muntah dan anoreksia.

Pada pasien yang mengonsumsi OAT dan mengalami gejala klinis hepatotoksisitas dengan atau tanpa peningkatan enzim hati > 3 kali lipat, konsumsi OAT harus dihentikan. Di lain pihak, bila tidak ditemukan gejala klinis, OAT dihentikan jika kadar bilirubin >2 atau  ditemukan peningkatan enzim hati > 5 kali lipat.[1]

Cara Pemberian Obat Antituberkulosis pada Pasien yang Mengalami Hepatotoksisitas

Pertama-tama, hentikan konsumsi OAT yang bersifat hepatotoksik, yaitu rifampicin, isoniazid, dan pyrazinamide. Kemudian, lakukan pemantauan gejala klinis dan laboratorium.

  • Bila gejala klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT), terapi dengan rifampicin dapat dimulai, dimana dosis dinaikkan perlahan sampai dosis penuh. Lakukan pemantauan klinis dan laboratorium ketika pasien sudah mendapat rifampicin dosis penuh
  • bila gejala klinis dan laboratorium normal, maka dapat ditambahkan isoniazid dengan dosis naik perlahan sampai dosis penuh
  • Pemberian pyrazinamide tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami ikterik

Bila ditemukan bahwa rifampicin tidak dapat ditoleransi, regimen yang direkomendasikan adalah 2 HES/10 HE. Sementara itu, bila ditemukan bahwa isoniazid tidak dapat ditoleransi, maka regimen yang direkomendasikan adalah 6-9RZE.[1,2]

Penatalaksanaan Efek Samping Neuropati Perifer

Pasien yang mengonsumsi OAT dapat mengalami efek samping neuropati perifer. Gejala yang timbul dapat berupa kebas atau rasa seperti terbakar pada tangan atau kaki.

Risiko efek samping ini meningkat pada perempuan hamil, orang dengan HIV, penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik, dan gagal ginjal. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vitamin B6 (piridoksin) 25 mg/hari.[1,2]

Penatalaksanaan Efek Samping pada Tuberkulosis Resisten Obat

Pasien yang mengalami tuberkulosis resisten obat telah dilaporkan mengalami lebih banyak efek samping dibandingkan pasien yang mendapat OAT lini pertama. Meski begitu, prinsip terapi efek samping pada pasien resisten obat serupa dengan pasien yang mendapat pengobatan lini pertama. Jika terjadi efek samping minor, OAT dapat terus dilanjutkan. Sementara itu, jika terjadi efek samping mayor, OAT dihentikan dan dapat dilakukan pemberian obat ulang secara bertahap untuk mengetahui obat mana penyebabnya.[1,2]

Kesimpulan

Efek samping obat masih menjadi hambatan bermakna dalam terapi tuberkulosis. Penanganan efek samping yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan dengan demikian meningkatkan keberhasilan terapi.

Secara umum, efek samping yang timbul pada penanganan tuberkulosis bersifat ringan. Efek samping minor dapat ditangani secara suportif tanpa memerlukan penghentian terapi.

Pada pasien dengan efek samping mayor, terapi harus dihentikan dan dilakukan evaluasi dan pemantauan. Rujukan ke spesialis dapat dipertimbangkan. Obat OAT dapat dimulai kembali secara bertahap dan dapat dilakukan drug challenge untuk mengidentifikasi obat mana yang tidak dapat ditoleransi.

 

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Michael Susanto

Referensi