Penanganan Tuberkulosis Anak di Indonesia

Oleh :
Meili Wati

Tata laksana tuberculosis (TB) anak di Indonesia telah diperbaharui sampai tahun 2019. Saat ini sudah terdapat panduan terbaru dari World Health Organization (WHO) yang dikeluarkan pada tahun 2022.[1,4,5]

Berdasarkan data dari World Health Organization TB report 2020, Indonesia merupakan negara dengan angka penderita TB terbanyak kedua di dunia dengan angka kejadian 312 per 100.000 populasi. Mengingat tingginya angka tuberkulosis di Indonesia, maka diperlukan langkah-langkah yang tepat dalam melakukan skrining kasus TB, pencegahan, dan pengobatan TB. Tata laksana TB pada anak dibagi menjadi terapi atau pengobatan dan profilaksis atau pencegahan.[1-3,6]

 

Depositphotos_185583234_m-2015_compressed

Terapi Tuberkulosis (TB) pada Anak di Indonesia

Terapi tuberkulosis pada anak di Indonesia saat ini sudah diperbaharui sampai tahun 2020 yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tahun 2019. Perbedaan regimen ini terutama ditemukan pada TB paru berat dan TB ekstraparu.

Rekomendasi Dosis dan Regimen Obat Antituberkulosis (OAT) untuk Anak

Rekomendasi dosis dan regimen obat antituberkulosis (OAT) untuk anak di Indonesia sedikit berubah dari tahun 2016, yaitu pada TB paru dengan kerusakan luas dan TB ekstraparu. Sedangkan regimen untuk TB paru dengan pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) negatif, TB kelenjar dan TB dengan efusi pleura tetapi menggunakan 3 macam obat pada fase intensif.[4,5]

Hal ini dengan pertimbangan bahwa, pada anak kecil, biasanya paucibacilar, sehingga risiko transmisi M. tuberculosis dari anak lebih rendah. Berdasarkan hal ini, maka regimen pengobatan dengan 4 macam obat diberikan bila anak mengalami TB dengan BTA positif, TB berat, dan adult type TB.[4,5]

Regimen utama pengobatan TB di Indonesia meliputi isoniazid/INH (H), rifampicin (R), pirazinamide (Z), dan ethambutol (E) dengan dosis yang tertera pada tabel di bawah ini.[4,5]

Tabel 1. Regimen Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Regimen Rentang Dosis Dosis Maksimal
Isoniazid (H) 10 mg/kgBB (7-15 mg/kgBB) 300 mg/hari
Rifampisin (R) 15 mg/kgBB (10-20 mg/kgBB) 600 mg/hari
Pirazinamide (Z) 35 mg/kgBB (30-40 mg/kgBB)
Ethambutol (E) 20 mg/kgBB (15-25 mg/kgBB)

Sumber: dr. Lina Ninditya, Sp.A[4,5]

Pemberian OAT disarankan tetap dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) atau fixed dose combination (FDC) dan bukan sebagai monoterapi. Ethionamide dan pirazinamide diberikan dalam bentuk sendiri sebagai tambahan. Akan tetapi, pada bayi dengan berat badan (BB) di bawah 5 kg, pemberian OAT dilakukan secara terpisah dan bukan KDT. Pada pemberian terpisah, OAT tidak dapat digerus dan dicampur dalam satu puyer.[5]

Pada panduan nasional tahun 2019, penggunaan ethambutol disarankan dengan syarat sesuai dengan rentang dosis yang direkomendasikan. Hal ini karena, efek samping gangguan penglihatan tidak perlu ditakutkan selama pemberian masih dalam rentang dosis yang dianjurkan.[5]

Panduan pemberian KDT tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Panduan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

 Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150) 4 bulan RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa

Sumber: dr. Lina Ninditya, Sp.A[4,5]

Pemberian OAT dengan KDT pada anak ini dilakukan dengan beberapa catatan, bahwa dosis ini akan disesuaikan dengan kenaikan BB pasien. Akan tetapi, untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan berat badan ideal, yaitu sesuai usia.[4,5]

Selain itu, sebaiknya OAT dengan KDT diberikan secara utuh apabila memungkinkan, dan tidak dibelah atau digerus. Obat OAT dapat ditelan secara utuh, dikunyah/dikulum atau dimasukkan air ke dalam sendok/dispersible. Sebaiknya OAT ditelan saat perut kosong atau paling cepat 1 jam setelah makan. Selanjutnya, bila INH dikombinasikan dengan rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.[4,5]

Rekomendasi Durasi Pengobatan dan Pemberian Kortikosteroid

Durasi pengobatan TB anak adalah 6 atau 12 bulan, tergantung dari jenis TB. Pada rekomendasi TB tahun 2020 yang mengacu pada Permenkes 2019, TB paru dengan kerusakan luas dan TB dengan destroyed lung masuk ke dalam kelompok TB paru berat bersama TB milier. Durasi dan regimen pengobatan menjadi 2HRZE/7-10HR. Hal ini berubah dari tahun 2016, dimana TB paru dengan kerusakkan luas memiliki regimen pengobatan 2HRZE/4HR.[4,5]

Regimen OAT untuk TB ekstraparu juga mengalami sedikit perubahan, dimana TB dengan meningitis, perikarditis, peritonitis, maupun skeletal menjadi 2HRZ(E/S) dan 10HR, disertai pemberian kortikosteroid kecuali untuk skeletal TB. Pada rekomendasi tahun 2016, regimen OAT TB ekstraparu kecuali TB meningitis dan TB tulang/sendi adalah 2HRZE/4HR.[4,5]

Selain itu, pemberian kortikosteroid, seperti prednison, dilakukan pada keadaan tertentu, seperti TB dengan komplikasi efusi pleura, meningitis, TB abdomen dengan asites, TB kelenjar dan endobronkial dengan sumbatan jalan napas, TB dengan perikarditis dan TB milier dengan gangguan napas berat. Infeksi TB dapat menyebabkan gangguan napas berat yang menyebabkan diperlukannya terapi oksigen hingga gagal napas yang memerlukan intubasi dan bantuan napas dengan ventilator, sehingga harus dirawat.[4,5]

Pada tata laksana TB, tujuan pemberian kortikosteroid adalah memodifikasi sistem imun untuk mencegah terjadinya keadaan hiperinflamasi, nekrosis dan kerusakkan organ lebih lanjut. Pada rekomendasi TB tahun 2019, pemberian kortikosteroid lebih jelas tertera pada tabel durasi dan regimen OAT.[8]

Pemberian kortikosteroid biasanya dilakukan menggunakan prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari sampai 4 mg/kgBB/hari untuk kasus sakit berat. Dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian tapering off bertahap selama 12 minggu, lalu dilepas.[4,5]

Regimen pengobatan masing-masing jenis TB tercantum pada tabel berikut.

Tabel 3. Panduan Durasi dan Regimen OAT pada Berbagai Macam TB

Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase Lanjutan

Kortikosteroid/

Prednison

TB paru BTA negatif 2RHZ 4HR -
TB kelenjar
Efusi pleura TB 2RHZ 4HR 2 minggu lalu tapering off

TB paru BTA positif 2RHZE 4HR -
TB paru berat:
TB milier 2RHZE 7-10HR 4 minggu lalu tapering off

TB paru dengan kerusakan luas
TB + destroyed lung

Meningitis TB 2HRZ(E/S) 10HR 4 minggu lalu tapering off

Perikarditis TB 2 minggu lalu tapering off

Peritonitis TB 2 minggu lalu tapering off

Skeletal TB -

Sumber: Alomedika, 2022.[4,5]

Piridoksin

Pemberian piridoksin direkomendasikan, karena pemberian isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simtomatik terutama pada anak dengan TB dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan malnutrisi. Rekomendasi pemberian piridoksin pada tata laksana TB anak tahun 2020 yang mengacu pada Permenkes 2019 adalah 5 sampai 10 mg/hari pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, HIV positif, dan malnutrisi berat.[4,5]

Tata Laksana Tuberkulosis (TB) pada Anak dengan HIV

Pada anak yang menderita TB dengan HIV, anjuran OAT sebenarnya sama dengan TB tanpa HIV, hal ini karena farmakologi OAT tidak dipengaruhi oleh obat antiretroviral (ARV). Akan tetapi, ARV dipengaruhi oleh OAT, sehingga yang disesuaikan adalah pemberian ARV.[4,5]

Penyesuaian pemberian ARV ini dilakukan karena rifampicin menurunkan konsentrasi protease inhibitors (PI) hingga ≥80%, dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) sampai 20–60%. Maka dari itu, ARV yang diberikan dengan rifampicin adalah efavirenz atau ritonavir (NNRTI) ditambah 2 obat nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Pemberian ritonavir dilakukan dengan dosis dinaikkan.[4,5]

Pemberian ARV sebaiknya dimulai dalam 2 sampai 8 minggu setelah OAT dimulai. Terapi ARV dan OAT juga disertai pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK), sebagai profilaksis untuk pneumonia akibat Pneumocystis jiroveci. Akan tetapi, terdapat beberapa studi terbaru yang menyarankan evaluasi ulang terkait PPK.[4,5,9]

Selain itu, piridoksin juga diberikan untuk pasien HIV dengan dosis 10 mg/hari bersama dengan pemberian nutrisi juga direkomendasikan. Pertimbangan pemberian kortikosteroid disesuaikan dengan keadaan imunosupresi pasien.[4,5]

Anak yang menderita TB wajib dilakukan skrining HIV, dan juga sebaliknya. Hal ini berlaku dari rekomendasi tahun 2016 dan 2019, karena seringkali gambaran klinis yang tidak khas, koinfeksi yang dapat terjadi, dan prognosis yang lebih buruk pada TB dengan HIV karena imunosupresi dan penetrasi OAT yang lebih buruk.[4,5]

Efek Samping Obat Antituberkulosis (OAT) pada Anak

Efek samping terapi OAT pada anak yang paling sering terjadi adalah hepatotoksisitas atau drug induced liver injury (DILI). Pada keadaan ini, gejala yang sering timbul adalah ikterik, mual, muntah, hepatomegali, dan anoreksia. Bila terdapat hepatomegali dan ikterus, maka cek SGOT/SGPT dan pertimbangkan untuk menghentikan OAT sementara.[5]

Apabila pemeriksaan SGOT/SGPT di bawah 5 kali nilai normal, maka OAT tetap lanjut. Pemberian OAT dapat dilanjutkan bila SGOT/SGPT kembali normal. Akan tetapi, sebaiknya pemberian dilakukan dengan rentang dosis yang rendah.[5]

Tabel di bawah ini menjelaskan mengenai efek samping lain yang ditemukan pada pemberian OAT.

Tabel 4. Efek Samping Obat Antituberkulosis (OAT)

Nama Obat Efek Samping
Isoniazid (H) Hepatitis karena OAT, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin (R) Hepatitis karena OAT, peningkatan fungsi hati, gejala gastrointestinal, reaksi kulit, trombositopenia, urine dan cairan tubuh berwarna orange kemerahan
Pirazinamid (Z) Hepatitis karena OAT, artralgia, gejala gastrointestinal
Etambutol (E) Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gejala gastrointestinal
Streptomisin (S) Ototoksik, nefrotoksik

Sumber: Alomedika, 2022[5]

Respon Keberhasilan Terapi

Respon keberhasilan terapi pada pengobatan TB pada anak dilakukan dengan mengevaluasi klinis anak. Terapi dinyatakan berhasil apabila ditemukan menghilangnya demam setelah 2 sampai 3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Hal ini tidak berubah dari rekomendasi tahun 2016 dan 2020 yang mengacu pada Permenkes 2019.[4,5]

Pada anak dengan TB milier, gambaran milier pada rontgen toraks menghilang perlahan dalam 5 sampai 10 minggu dan dapat sampai beberapa bulan. Maka dari itu, hal ini bukan menjadi penilaian keberhasilan terapi. Pasien yang sebelumnya dirawat di rumah sakit, dapat melanjutkan OAT di fasilitas pelayanan primer.[4,5]

Monitoring Pengobatan:

Monitoring pengobatan dan pemantauan sama seperti tahun 2016, dimana dilakukan minimal setiap 2 minggu pada fase intensif dan setiap 1 bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai. Pada monitoring ini dilakukan evaluasi gejala, kepatuhan minum obat, efek samping, dan pengukuran berat badan.[5]

Dosis obat disesuaikan kembali pada monitoring ini sesuai dengan bertambahnya berat badan. Selain itu, kepatuhan minum obat dicatat pada kartu pemantauan pengobatan.[5]

Pada anak dengan BTA positif pada saat dilakukan diagnosis awal, maka pemantauan sputum dilakukan pada akhir bulan kedua, kelima, dan keenam. Sedangkan untuk rontgen toraks, dilakukan sebagai pemantauan pengobatan pada TB milier setelah 1 bulan pengobatan dan TB dengan efusi pleura setelah 2 sampai 4 minggu terapi. Pada kasus lainnya, rontgen toraks tidak rutin dilakukan, karena perbaikan radiologis akan lebih lama dan kurangnya ketersediaan fasilitas rontgen toraks di Indonesia.[5]

Tidak Menunjukkan Perbaikan dengan Terapi Obat Antituberkulosis (OAT):

Apabila anak tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi OAT, maka anak harus dirujuk untuk penilaian dan terapi lebih lanjut. Hal ini karena, anak mungkin mengalami resistensi obat, komplikasi TB yang tidak biasa, penyebab paru lain atau masalah dengan keteraturan minum obat.[5]

Indikasi Rujuk pada Anak dengan Tuberkulosis (TB)

Indikasi rujuk untuk anak dengan TB adalah sebagai berikut:

  1. Neonatus dengan sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di fasilitas rujukan dan sebaiknya dirawat di ruang isolasi
  2. Ditemukannya efusi pleura atau TB milier atau kavitas pada pemeriksaan rontgen toraks
  3. Terdapat gibbus dan koksitis
  4. Bila ditemukan tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, dan kegawatan lain, seperti sesak napas
  5. Malnutrisi berat
  6. Penyakit komorbid, seperti anemia berat dan HIV
  7. Respon klinis tidak baik dengan pemberian OAT[5]

Pencegahan dan Profilaksis Tuberkulosis (TB) atau TB Preventive Treatment (TBT) pada Anak

Pencegahan dan profilaksis TB atau TB preventive treatment (TBT) pada anak meliputi vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG) untuk anak yang kontak TB, pengobatan pencegahan dengan isoniazid (INH) dan 3HP.[5]

Vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG)

Indonesia memiliki insiden TB yang tinggi, sehingga direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG) 1 dosis segera setelah lahir atau jika karena suatu dan lain hal tidak dapat diberikan setelah lahir, dilakukan sesegera mungkin. Vaksinasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya TB berat, seperti TB milier dan TB meningitis sampai minimal berusia 5 tahun.[1]

Vaksinasi BCG hanya perlu dilakukan satu kali dengan dosis 0,05 ml secara intradermal. Ada atau tidaknya skar pasca vaksin BCG tidak menjadi indikasi efektivitas vaksinasi BCG dan jika tidak terbentuk jaringan parut (scar) tidak perlu dilakukan vaksinasi ulangan.[1,5]

Vaksinasi BCG dapat ditunda pada bayi yang HIV positif, karena keadaan imunosupresan pada bayi menyebabkan bayi berisiko BCGitis diseminata. Apabila status HIV ibu positif, tapi telah dilakukan preventing mother to child transmission of HIV (PMTCT), vaksinasi BCG dapat tetap diberikan, kecuali bila bayi terkonfirmasi HIV positif vaksin BCG tidak boleh diberikan.[5,12]

Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (INH) (PP INH) dan 3HP

Pengobatan pencegahan dengan isoniazid (INH) (PP INH) pada rekomendasi tahun 2019 dibagi menjadi primer dan sekunder. Pada PP INH primer indikasi pemberian adalah balita sehat tanpa klinis TB yang kontak dengan orang dewasa yang TB terkonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis atau anak imunokompromais semua usia.[4,5]

Kelompok imunokompromais antara lain seperti anak dengan HIV, keganasan, gizi buruk, dan anak yang mendapat kortikosteroid sistemik dalam jangka waktu lama.[4,5]

Sedangkan PP INH untuk profilaksis sekunder adalah anak dengan bukti infeksi TB, yaitu uji tuberkulin atau IGRA positif, tapi tidak ditemukan gejala dan tanda klinis TB.[4,5]

Pemberian PP INH dilakukan dengan pemberian INH 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dan dievaluasi minimal 1 kali per bulan. Dosis dan pemberian ini sama antara kelompok primer dan sekunder Apabila anak belum mendapat vaksinasi BCG, maka dapat divaksin setelah PP INH selesai dan uji tuberkulin negatif. Jika anak terbukti sakit TB pada saat evaluasi pengobatan, maka PP INH dihentikan dan diganti dengan OAT.[5]

Selain dengan INH, Indonesia juga menerapkan rekomendasi WHO tahun 2018 untuk terapi profilaksis dengan regimen lain, yaitu INH-Rifampisin dan INH-Rifapentin atau yang dikenal dengan 3HP. Pemberian INH-Rifapentin yang lebih banyak digunakan, hal ini karena pemberiannya lebih singkat, yaitu 1 kali per minggu selama 12 minggu, sehingga dengan regimen ini angka kepatuhan berobat dan keberhasilan terapi lebih tinggi.[5]

Terapi Tuberkulosis (TB) Anak menurut World Health Organization (WHO)

Pada tahun 2022, WHO telah mengeluarkan rekomendasi terbaru untuk pengobatan TB pada anak. Rekomendasi ini dinilai cukup cost effective dan efisien, mengingat memendeknya durasi pengobatan pada TB keadaan tertentu. Akan tetapi, saat ini belum diaplikasikan di Indonesia karena masih dalam tahap penelitian dan penyesuaian dengan populasi di Indonesia.

Rekomendasi Durasi Pengobatan

Rekomendasi dari WHO terbaru tahun 2022 menyarankan untuk memperpendek durasi pengobatan TB menjadi 4 bulan dibandingkan dengan panduan nasional, yaitu 6 sampai 12 bulan, untuk anak berusia antara 3 bulan hingga 16 tahun yang tidak termasuk klasifikasi parah atau non–severe dan bukan TB yang resisten obat. Regimen yang diberikan, yaitu 2RHZ(E)/2RH.[1]

Kasus yang termasuk non–severe TB antara lain TB kelenjar, TB dengan efusi pleura tanpa komplikasi, TB kelenjar intratorakal yang tidak menyebabkan obstruksi, TB non–milier, TB non–kavitas, TB yang hanya pada satu lobus. Durasi OAT adalah 6 bulan pada pasien dengan TB berat.[1]

Regimen pengobatan 4 bulan dengan HRZ 2 bulan, kemudian lanjut dengan HR 2 bulan, diberikan untuk anak dan dewasa muda dengan non-severe TB yang tinggal pada area dengan prevalensi HIV rendah atau prevalensi resistensi isoniazid rendah dan negatif HIV. Di Indonesia, angka HIV masih mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu 558.618 kasus pada tahun 2021.[1,10,11]

Sedangkan pemberian etambutol diberikan pada daerah dengan prevalens HIV yang tinggi atau resisten isoniazid. Tes line probe assay (LPA) dan kultur sputum dapat dilakukan untuk mengidentifikasi resistensi isoniazid. Regimen pemberian dengan etambutol adalah HRZE selama 2 bulan, diikuti dengan HR selama 2 bulan.[1,7]

Pertimbangkan Memperpendek Durasi Pengobatan

Keputusan memperpendek durasi pengobatan pada kelompok ini dipertimbangkan oleh guideline development group (GDG) berdasarkan studi non-inferioritas yang dilakukan shorter treatment for minimal tuberculosis in children (SHINE). Studi ini menyatakan bahwa durasi pengobatan 16 minggu tidak lebih inferior dibandingkan 24 minggu pada anak berusia di bawah 16 tahun dengan TB simtomatis yang non–severe dengan BTA negatif.[1]

Hal ini mungkin karena TB pada anak biasanya paucibaciler dan memiliki manifestasi klinis yang lebih ringan daripada orang dewasa. Pemendekan durasi pengobatan ini juga diharapkan dapat mengurangi efek samping pengobatan, angka putus berobat dan ketaatan berobat, serta menyebabkan pengobatan TB pada anak lebih cost effective.[1,5,6]

Pemantauan Klinis

Pemantauan klinis pada regimen 4 bulan sama dengan regimen 6 bulan dan keberhasilan terapi dinilai pada akhir pengobatan bulan keempat. Terapi diperpanjang menjadi 6 bulan, apabila tidak didapatkan perbaikan klinis yang adekuat sambil mempertimbangkan adanya kemungkinan ke arah TB resisten obat.[1]

Pemantauan klinis disarankan untuk tetap dilakukan sampai 1 tahun dari waktu selesai pengobatan, terutama pada regimen 4 bulan. Hal ini karena kemungkinan kambuh tetap ada.[1]

Pemantauan pada anak dilakukan dengan penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping, dan pengukuran berat badan. Selama terapi dilakukan, pemantauan dilakukan setiap 2 minggu pada fase intensif, dan menjadi 2 bulan pada fase lanjutan.[5]

Regimen untuk Meningitis akibat Infeksi Tuberkulosis

Pada kasus TB meningitis dan TB terkonfirmasi bakteriologis, dapat direkomendasikan alternatif regimen terapi selama 6 bulan dengan RHZEto, dimana regimen sebelumnya adalah 2 bulan RHZE dilanjutkan dengan 10 bulan HR. Hal ini direkomendasikan pada kasus yang tidak dicurigai kemungkinan adanya TB resisten obat. Pemendekan durasi regimen menjadi 6 bulan ini tidak direkomendasikan penderita TB meningitis dengan infeksi HIV.[1,5]

Pemberian ethionamide (Eto) untuk mengganti etambutol dilakukan karena berdasarkan klinis, obat ini lebih baik dalam melakukan penetrasi sawar darah otak/blood brain barrier (BBB). Akan tetapi, regimen ini hanya rekomendasi dan belum ada bukti klinis yang jelas terkait hasil jangka panjang pengobatan, seperti squele neurologis.[1]

Rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk Vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG)

Pada rekomendasi WHO tahun 2022, disarankan vaksinasi BCG baru diberikan bila sudah dalam terapi ARV, secara klinis stabil, dan secara imunologis stabil. Stabil secara imunologis adalah CD4% >25% untuk anak di bawah usia 5 tahun atau jumlah CD4 ≥200 bila berusia di atas 5 tahun.[1]

Pada populasi dimana prevalensi HIV cukup tinggi, seperti di Indonesia, rekomendasi WHO tetap menyarankan pemberian vaksinasi BCG segera setelah lahir untuk bayi yang status HIV tidak diketahui dan tidak ada bukti infeksi HIV pada bayi. Hal ini karena benefit profilaksis dari TB berat akibat infeksi TB pada populasi ini lebih besar daripada risiko akibat vaksinasi BCG.[1]

Rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (INH) (PP INH)

Rekomendasi WHO tahun 2022 untuk pemberian PP INH adalah populasi yang memiliki kontak erat dengan penderita TB terkonfirmasi bakteriologis dan tidak ditemukan gejala klinis TB terutama pada anak berusia di bawah 5 tahun. Selain itu, penderita HIV di semua usia dan populasi yang menjalani dialisis, mendapatkan terapi anti TNF, atau persiapan donor organ juga disarankan untuk mendapatkan profilaksis. Dosis INH yang diberikan sama seperti rekomendasi nasional tahun 2020 yang mengacu pada Permenkes 2019.[1]

Regimen profilaksis TB menurut rekomendasi WHO tahun 2022, antara lain:

  1. Isoniazid selama 6 atau 9 bulan yang diberikan setiap hari
  2. Rifapentin dan isoniazid yang diberikan tiap minggu selama 3 bulan
  3. Isoniazid dan rifampisin yang diberikan setiap hari selama 3 bulan

Kesimpulan

Tata laksana TB untuk anak di Indonesia sampai saat ini masih mengikuti pedoman nasional tahun 2020 yang mengacu pada Permenkes tahun 2019 dan belum diperbaharui sesuai dengan panduan WHO tahun 2022. Hal ini karena masih dilakukan penelitian dan penyesuaian dengan populasi di Indonesia. Akan tetapi, hal ini perlu diperhatikan, karena apabila dapat diterapkan pada populasi di Indonesia, angka kepatuhan berobat dapat meningkat karena durasi pengobatan yang lebih pendek. Selain itu, efek samping obat dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan TB juga dapat berkurang.

Tata laksana TB pada anak dibagi menjadi terapi dan pencegahan. Sampai saat ini, tata laksana TB pada anak disarankan dalam KDT atau FDC dan masih diperbolehkan untuk monoterapi apabila berat badan pasien di bawah 5 kg. Etambutol dapat digunakan dalam tata laksana TB, akan tetapi harus dalam rentang dosis yang dianjurkan.

Regimen untuk TB paru berat saat ini sudah meliputi TB paru dengan kerusakan luas dan destroyed lung, sehingga kedua kasus ini mendapatkan OAT dengan regimen yang lebih panjang, yaitu 9 sampai 12 bulan. Pada kasus TB ekstraparu yang meliputi meningitis, perikarditis, peritonitis, maupun skeletal, regimen pengobatan menjadi 12 bulan. Evaluasi pengobatan harus dilakukan sesuai jadwal terutama untuk penyesuaian dosis, efek samping, kepatuhan berobat dan resistensi OAT, karena berpengaruh pada keberhasilan terapi.

Pada pencegahan TB, rekomendasi vaksin BCG belum banyak berubah, baik rekomendasi nasional tahun 2019 maupun WHO tahun 2022. Sedangkan rekomendasi pengobatan pencegahan dapat dengan isoniazid (PP INH) maupun 3HP. Pengobatan pencegahan dengan 3HP dengan INH-Rifapentin yang lebih banyak digunakan, hal ini karena pemberiannya lebih singkat yaitu 12 minggu.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta

Referensi