Depresi Pasca Stroke

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Depresi merupakan salah satu komplikasi tersering pasca stroke. Meski demikian, depresi pasca stroke sering kurang terdiagnosis ataupun kurang tertangani. Padahal, depresi pasca stroke merupakan prediktor luaran yang buruk karena akan meningkatkan limitasi dalam aktivitas harian, penurunan kualitas hidup, gangguan kognitif, kematian yang prematur, peningkatan risiko bunuh diri, serta penurunan luaran rehabilitasi maupun luaran fungsi sosial.[1-4]

Diagnosis Depresi Pasca Stroke

Secara umum, depresi pasca stroke ditandai dengan mood yang melankolis atau disforik, maupun tanda vegetatif seperti gangguan tidur, penurunan libido, dan penurunan energi. Diagnosis depresi pasca stroke menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-5), digolongkan ke dalam gangguan depresi akibat kondisi medis lain.

DepresiPascaStroke

Adapun diagnosis tersebut terdiri dari 5 kriteria yaitu:

  1. Terdapat mood depresi atau anhedonia
  2. Gejala merupakan patofisiologi yang berkaitan dengan stroke

  3. Gejala tidak dapat dijelaskan oleh gangguan psikiatrik lainnya
  4. Gangguan tidak terjadi saat terjadinya delirium

  5. Gejala menyebabkan hendaya atau disfungsi yang bermakna[2-4]

Kondisi tersebut dapat dispesifikasi menjadi gangguan depresi akibat stroke dengan:

  • Dengan gambaran depresi, jika pasien memiliki mood yang depresi atau anhedonia tetapi tidak memenuhi seluruh kriteria dari gangguan depresi mayor
  • Dengan episode mirip depresi mayor, jika seluruh gejala gangguan depresi mayor terpenuhi selama sekurangnya 2 minggu
  • Dengan gambaran campuran, jika terdapat gejala hipomania atau mania yang tidak dominan[2]

Perbedaan Depresi Pasca Stroke dengan Gangguan Depresi Mayor

Berbeda dengan gangguan depresi mayor, patofisiologi depresi pasca stroke berkaitan erat dengan adanya gangguan atau kerusakan vaskularisasi di otak. Pasien dengan depresi pasca stroke juga cenderung memiliki gejala depresi yang lebih berat dibandingkan gangguan depresi mayor.

Pada depresi pasca stroke, gambaran hendaya kognitif lebih berat dibandingkan gejala anhedonia ataupun gangguan siklus tidur dibandingkan dengan pada gangguan depresi mayor. Pada penderita depresi pasca stroke, depresi sering terjadi bersamaan dengan disabilitas fisik seperti afasia, hendaya keseimbangan atau motorik, dan kehilangan kemampuan sensorik.[2,4]

Faktor Risiko Depresi Pasca Stroke

Tingkat depresi pasca stroke sendiri dikatakan tertinggi pada 1 tahun pertama pasca stroke. Mengetahui faktor risiko depresi pasca stroke dapat membantu klinisi untuk melakukan pemantauan ketat terhadap gejala depresi sehingga mampu melakukan intervensi preventif yang lebih intensif. Adapun faktor risiko depresi pasca stroke dapat dibagi menjadi 3 kategori,[1,2]

Faktor Risiko Pre-Stroke

Faktor risiko pre-stroke ini mirip dengan faktor risiko gangguan depresi mayor secara umum, antara lain jenis kelamin perempuan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya atau dalam keluarga, komorbiditas dengan diabetes melitus, paparan terhadap masalah yang penuh stres yang terjadi akibat dari stroke, merokok, dan ciri kepribadian neurotik.[1,2]

Faktor Risiko Terkait Stroke

Area terdampak stroke yang luas atau serangan stroke berulang dikatakan sebagai faktor prediktor terjadinya depresi pasca stroke yang lebih tinggi. Hal ini tidak dipengaruhi oleh tipe dari stroke, apakah iskemik atau hemoragik, maupun mekanisme yang mendasari terjadinya stroke misalnya emboli atau trombotik.[2,4]

Pada masa post akut atau sekitar 15 hari hingga 6 bulan pertama sejak terjadinya stroke, dikatakan stroke di area lobus frontal dan basal ganglia memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya depresi pasca stroke dibandingkan dengan stroke di area lain. Sementara itu, lesi di sisi sebelah kiri dikatakan di beberapa penelitian memiliki risiko lebih tinggi depresi pasca stroke dibandingkan dengan lesi sisi sebelah kanan.[1,2,5]

Faktor Risiko Pasca Stroke

Data yang ada menunjukkan terjadi peningkatan risiko depresi pasca stroke pada penderita yang tidak memiliki dukungan sosial, tingkat disabilitas yang lebih tinggi, beban medis yang lebih tinggi, dan memiliki kemandirian yang lebih rendah yang berkaitan langsung dengan pasca stroke. Dukungan sosial sendiri berkaitan dengan dukungan emosi, motivasi untuk berobat termasuk dukungan dalam fungsi harian.[1,2,4]

Tata Laksana Depresi Pasca Stroke di Layanan Primer

Secara umum penanganan depresi pasca stroke terbagi menjadi penapisan, terapi psikofarmaka, terapi nonpsikofarmaka, dan rehabilitasi. Tata laksana depresi pasca stroke perlu dilakukan oleh tim interdisiplin, sehingga tidak hanya mencangkup ahli di bidang medis, melainkan mencakup peran pekerja sosial bahkan keluarga.[1,2,4,6,8]

Peran dokter umum di Indonesia dalam tatalaksana depresi pasca stroke merujuk dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 yaitu tingkat kemampuan 2. Tingkat ini berarti dokter berperan dalam melakukan diagnosis klinik dan mampu melakukan rujukan yang tepat bagi penanganan lanjutan. Tingkat ini juga menekankan kemampuan untuk melakukan tindak lanjut setelah Kembali dari rujukan.[9]

Sementara itu, menurut Canadian Stroke Best Practice Recommendations, dokter umum dapat berperan dalam melakukan penapisan gejala psikologis baik pada pasien maupun pelaku rawat, pemberian edukasi pasien dan pelaku rawat, merujuk dan melakukan penyampaian informasi ke interprofesi atau tim kolaborasi, dan melakukan edukasi selama proses rehabilitasi.[8]

Penapisan dan Diagnosis

Terdapat data yang menunjukkan pasien yang dapat didiagnosis depresi pasca stroke dan mendapat penanganan selama 6 minggu pertama setelah stroke, memiliki tingkat recovery yang lebih tinggi. Hal ini juga ditunjukkan dalam gambaran penelitian neuroimaging berupa gejala depresi yang persisten berkaitan dengan adanya penyakit serebrovaskular, demikian sebaliknya pasien dengan penyakit serebrovaskular memiliki gejala depresi yang lebih berat.[4]

Sementara itu, diagnosis depresi pasca stroke dapat menjadi kesulitan tersendiri karena banyak gejala depresi yang saling tumpang tindih dengan konsekuensi langsung dari stroke. Selain itu klinisi bisa saja menormalisasi proses depresi sebagai dampak stroke terhadap fungsi keseharian pasien. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien dengan hendaya akan berkembang ke gejala depresi, demikian sebaliknya.[8]

Penapisan:

Pada layanan primer atau setting klinis dengan keterbatasan layanan psikiater, alat penapis menjadi salah satu kebutuhan bagi dokter umum atau spesialisasi lain dalam melakukan penapisan PSD. Data dari beberapa meta-analisis menunjukkan beberapa alat penapisan yang dapat digunakan untuk PSD antara lain clinician-administered 21-item Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D), self-reported 20-item Center of Epidemiological Studies – Depression Scale (CES-D), dan self-reported 9-item Patient Health Questionnaire (PHQ-9).[2,10]

Di antara alat tersebut dikatakan PHQ-9 dengan cut-off score ≥ 6 merupakan yang tersering dan memerlukan waktu pengisian paling cepat untuk digunakan. Namun, masih belum ada pedoman yang menentukan alat penapisan dan waktu terbaik untuk dilakukan penapisan.[2,10]

Penapisan pada fase akut atau segera setelah stroke, dianggap kurang optimal karena masih rancu dengan perubahan mood transien, reaksi penyesuaian, gangguan tidur, kelelahan atau kebingungan. Kemungkinan waktu terbaik dilakukan penapisan pada fase rehabilitasi selama rawat inap maupun rawat jalan.[2]

Psikofarmakoterapi

Obat yang umumnya diberikan untuk mengatasi gejala depresi berupa antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI), dan antidepresan tricyclic (TCA). Namun, hingga saat ini belum diketahui mengenai jenis antidepresan spesifik, inisiasi terapi, dan durasi terapi untuk depresi pasca stroke.

Menimbang risiko gangguan kardiovaskuler, golongan SSRI tetap lebih banyak diresepkan dibandingkan golongan SNRI maupun TCA. Mirtazapine, sertraline, citalopram dan escitalopram sering digunakan karena dianggap memiliki lebih sedikit interaksi obat. Penelitian tentang pemberian antidepresan segera setelah stroke pada pasien dengan faktor risiko tinggi tidak menunjukkan hasil yang konsisten, sehingga belum ada pedoman yang menganjurkan pemberian profilaksis antidepresan.[2,4,7]

Walaupun belum ada kesepakatan durasi terapi, Canadian Stroke Best Practice Recommendations tetap merekomendasikan sekurangnya durasi terapi mencapai 6-12 bulan. Sepanjang terapi tetap perlu disertai pengawasan rutin terhadap respons terapi dan penyesuaian terapi jika diperlukan. Terdapat data yang menunjukkan pemberian antidepresan meningkatkan risiko fraktur tulang sebesar 2-4%, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berkala terkait risiko ini.[4]

Pertimbangan lain pemberian psikofarmakoterapi berupa peningkatan risiko seperti penurunan ketajaman penglihatan, disfungsi seksual, retensi urin, tremor, insomnia, hipotensi, serebral hemoragik, maupun interaksi obat.[7]

Terapi Nonpsikofarmaka

Hingga saat ini belum ada panduan yang menentukan intervensi nonpsikofarmaka spesifik untuk mengatasi depresi pasca stroke. Intervensi psikososial merupakan salah satu intervensi yang dianggap efektif dalam penanganan depresi pasca stroke.

Intervensi yang dilakukan dapat berupa edukasi, manajemen perawatan, aktivasi perilaku terhadap mood, penyesuaian terhadap distorsi kognitif, pengembangan kemampuan beradaptasi, panduan terhadap aktivitas yang dapat meningkatkan fungsi keseharian ataupun pengurangan gejala, dan regulasi emosi.[2,7]

Tata laksana pasca stroke seperti penelusuran etiologi stroke, tata laksana pencegahan serangan stroke berulang, dan rehabilitasi perlu dilakukan untuk mencegah perburukan depresi pasca stroke. Risiko perburukan depresi pasca stroke dikatakan meningkat pada kondisi stroke yang berulang, defisit neurologis, atau menurunnya kemandirian pasien. Fase rehabilitasi yang utama berupa rehabilitasi kognitif, terapi wicara, terapi okupasi, dan rehabilitasi fisik.[2,8]

Rehabilitasi

Pada fase ini dokter umum atau dokter layanan primer dapat ikut serta dalam melakukan penilaian atau penapisan terhadap psikologis pasien ataupun anggota keluarga, termasuk menilai kesulitan yang dihadapi dalam fungsi keseharian. Penapisan depresi pasca stroke penting berkala dilakukan jika diketahui pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami depresi.

Dokter layanan primer juga dapat menjadi penghubung terhadap layanan yang dibutuhkan pasien. Misalnya merujuk pasien ke terapi wicara jika terdapat gejala afasia, ataupun merujuk ke psikiater atau psikolog jika terdapat gangguan psikologis.[2,6,8]

Kesimpulan

Depresi merupakan salah satu komplikasi kejiwaan yang paling sering terjadi pasca stroke. Depresi pasca stroke yang tidak diterapi dapat berujung pada penyembuhan yang lebih buruk, sehingga komplikasi ini perlu didiagnosis dan diterapi.

Faktor risiko depresi pasca stroke mencakup area terdampak stroke yang luas atau serangan stroke berulang. Penanganan depresi pasca stroke memerlukan kolaborasi lintas sektor, baik dari ahli medis, pekerja sosial, maupun keluarga. Dokter umum dapat berperan dalam penapisan, melakukan rujukan, menjembatani kolaborasi dengan pihak yang dibutuhkan, edukasi, dan tata laksana pasca rujukan.

Referensi