Manfaat dan Risiko Preoksigenasi pada Induksi Anestesi

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Preoksigenasi merupakan tindakan yang biasa dilakukan sebelum intubasi endotrakeal dan induksi anestesi, sehingga manfaat dan risiko tindakan tersebut harus diperhatikan. Selama induksi anestesi, saturasi oksihemoglobin arteri harus dijaga sampai kontrol jalan nafas dapat dilakukan. Desaturasi dapat menyebabkan disaritmia, dekompensasi hemodinamik, cedera otak, hingga kematian.[1]

Preoksigenasi sebelum intubasi endotrakeal dan induksi anestesi merupakan tindakan yang telah lama dilakukan dalam mencegah desaturasi oksihemoglobin. Tindakan preoksigenasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan cadangan oksigen sehingga desaturasi tidak terjadi pada keadaan hipoventilasi dan apnea.[1,2]

Walaupun manfaat preoksigenasi telah terbukti, namun tindakan ini memiliki risiko tersendiri. Pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi saat preoksigenasi dikhawatirkan dapat menyebabkan efek samping bagi pasien. Penundaan desaturasi juga dapat menutupi kesalahan pemasangan intubasi endotrakeal, sehingga kesalahan pemasangan dapat terlambat diketahui. Oleh karena itu, penilaian manfaat dan risiko preoksigenasi sebelum induksi anestesi perlu diketahui oleh dokter yang melakukan intubasi endotrakeal dan induksi anestesi.[2,3]

anestesicomp

Sekilas tentang Preoksigenasi pada Induksi Anestesi

Preservasi oksigen merupakan hal penting dalam tindakan intubasi endotrakeal dan induksi anestesi, karena kegagalan kontrol terhadap saturasi oksigen akan menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa. Preoksigenasi dengan fraksi oksigen (FiO2) tinggi merupakan cara yang dipakai dalam tindakan induksi anestesi dalam kontrol saturasi oksigen. Preoksigenasi dilakukan untuk memperpanjang waktu apnea dengan ventilasi oksigen 100%. Waktu apnea sendiri merupakan jangka waktu dari berhentinya nafas atau ventilasi sampai mulainya desaturasi arterial secara signifikan (SaO2 < 90%).[1-3]

Pada pasien yang mengalami paralisis karena induksi anestesi, keadaan apnea terjadi akibat ketiadaan gerakan diafragma atau ekspansi paru-paru, namun total konsumsi oksigen tubuh (VO2) tetap konstan pada 230 mL/menit. Kondisi ini menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen alveolar (PaO2) dengan cepat akibat berkurangnya cadangan oksigen paru.

Penurunan PaO2 tidak langsung diikuti dengan penurunan saturasi hemoglobin arterial (SaO2). Kadar SaO2 akan mulai menurun bila cadangan oksigen paru habis atau PaO2 kurang dari 60 mmHg. Desaturasi oksihemoglobin kritis ditandai dengan penurunan SaO2 hingga 80%, atau penurunan SaO2 dengan laju 20% hingga 40% per menit pada pasien dengan saturasi awal 80%.[1,4]

Preoksigenasi sebelum induksi anestesi dilakukan untuk menggantikan nitrogen pada paru-paru dengan oksigen terutama pada kapasitas residu fungsional (functional residual capacity), sehingga cadangan oksigen dapat berdifusi ke pembuluh darah pulmoner walaupun ventilasi paru tidak terjadi.

Melalui preoksigenasi, cadangan oksigen tubuh dapat meningkat dari 1.500 mL menjadi 4.000 mL Preoksigenasi dilakukan dengan peralatan yang sesuai dan pas dengan pasien. Ketidaksesuaian morfologis antara sungkup dan wajah pasien, seperti ketidaksesuaian ukuran sungkup atau adanya rambut wajah, dapat mengurangi efektifitas preoksigenasi.[2-6]

Sebelum preoksigenasi, sirkuit dan reservoir harus diisi dengan oksigen. Terdapat berbagai teknik preoksigenasi, yaitu pernafasan spontan pada FiO2 sama dengan 1 selama 2 sampai 5 menit, manuver kapasitas vital, pernapasan dalam, continuous positive airway pressure (CPAP) atau positive end-expiratory pressure (PEEP),  pressure support ventilation (PSV), oksigenasi apnea, dan transnasal humidified rapid insufflation ventilatory exchange (THRIVE).[2-6]

Manfaat Preoksigenasi pada Induksi Anestesi

Induksi anestesi standar pada pasien operatif elektif dilakukan dengan pemberian sedasi, melakukan ventilasi manual, pemberian relaksan otot, dan melanjutkan ventilasi manual hingga jalan nafas alternatif terpasang. Pada keadaan ini, preoksigenasi tidak diharuskan karena ventilasi terus diberikan selama periode induksi dan pasien memiliki keadaan fisiologi yang normal.

Pada pasien dengan risiko aspirasi tinggi akibat gangguan gastrointestinal, bentuk tubuh, maupun penyakit kritis, induksi dilakukan dengan urutan cepat (rapid sequence). Teknik induksi ini juga dilakukan pada pasien kegawatdaruratan yang membutuhkan tatalaksana jalur nafas, dimana seluruh pasien dianggap memiliki risiko aspirasi.

Preoksigenasi dibutuhkan sebelum pemasangan intubasi endotrakea rapid sequence, karena desaturasi terjadi dengan cepat. Preoksigenasi memiliki tiga tujuan, yaitu peningkatan saturasi sedekat mungkin dengan 100%, denitrogenisasi kapasitas residu paru-paru dengan target end-tidal O2 (EtO2) sekitar 90% dan end-tidal N2 (EtN2) sekitar 5%, serta denitrogenisasi dan oksigenasi maksimal pembuluh darah.[5-7]

Preoksigenasi terbukti dapat menunda desaturasi oksihemoglobin arteri selama pasien dalam keadaan apnea akibat induksi anestesi. Pada manusia sehat yang apnea dengan udara ruangan, desaturasi hingga 70% dapat terjadi dalam 1 menit dibandingkan dengan manusia sehat yang menerima preoksigenasi, desaturasi terjadi dalam 5 menit.

Desaturasi akan menyebabkan keadaan hipoksia yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi neurologis hingga kematian. Penundaan desaturasi pada keadaan apnea bergantung pada efektifitas preoksigenasi, kapasitas pemuatan oksigen, dan VO2. Pada pasien dengan penurunan kapasitas untuk pemuatan oksigen dan/atau peningkatan VO2, desaturasi dapat berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pasien lain. Laju desaturasi oksihemoglobin dapat berbeda pada berbagai teknik preoksigenasi.[2,4-6]

Risiko Preoksigenasi pada Induksi Anestesi

Meskipun terbukti memiliki manfaat dalam penundaan desaturasi oksihemoglobin arteri, tindakan preoksigenasi dapat memiliki berbagai risiko, seperti:

Tertundanya Diagnosis Kesalahan Intubasi

Kesalahan pemasangan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan hipoksemia berat. Preoksigenasi dapat memperpanjang jangka waktu sebelum hipoksemia terjadi, sehingga diagnosis kesalahan intubasi dapat tertunda, terutama bila indikator yang dipakai adalah saturasi oksigen (SpO2). Sehingga, penting bagi dokter untuk memahami bahwa oksimeter monitor tidak dapat digunakan sebagai acuan terpasangnya intubasi dengan baik dan turunnya bacaan SpO2 merupakan manifestasi lanjut dari kesalahan intubasi endotrakeal. Identifikasi CO2 dari gas ekspirasi (end-tidal CO2) pada banyak monitor troli anestesi dapat menjadi acuan pemasangan intubasi endotrakeal.[1,2]

Atelektasis Pulmonal

Atelektasis dapat terjadi pada 75% hingga 90% orang sehat yang mengalami anestesi umum dan atelektasis absorpsi merupakan efek samping yang sering terjadi pada preoksigenasi. Salah satu mekanisme yang mendasari adalah penurunan kapasitas residu fungsional paru akibat posisi supinasi dan induksi anestesi.

Penurunan kapasitas residu fungsional hingga lebih rendah dari closing capacity akan menyebabkan tertutupnya jalan nafas dan kolapsnya area paru. Mekanisme lain berupa atelektasis kompresi akibat perubahan bentuk dari dinding dada, tulang belakang, dan diafragma, sehingga terdapat peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan kompresi pada rongga thorax dan penutupan jalan nafas.

Nitrogen merupakan gas yang biasa ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada alveolus, karena nitrogen tidak dapat berdifusi ke pembuluh darah. Denitrogenisasi sebagai bagian utama dari preoksigenasi akan menggantikan N2 dengan O2 secara cepat, sehingga difusi oksigen ke pembuluh darah akan menurunkan tekanan alveoli, membuatnya kolaps. Hal inilah yang disebut dengan atelektasis absorpsi. Upaya pencegahan atelektasis dapat berupa penurunan konsentrasi FiO2 dan berbagai manuver preoksigenasi, seperti CPAP, PEEP, dan/atau manuver reekspansi.[2,6,7]

Produksi Spesi Oksigen Reaktif

Oksigen merupakan atom yang biasanya tersedia dalam bentuk O2 (dioksigen). Pada jaringan biologi, molekul dioksigen dapat terbelah menjadi spesi oksigen reaktif, termasuk anion superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida. Spesi oksigen reaktif dapat bereaksi dengan komponen molekuler penting, seperti lipid, DNA, dan protein, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel yang signifikan. Meskipun mekanisme antioksidan dapat mencegah konsentrasi spesi oksigen reaktif dalam jumlah tinggi dalam sel, peningkatannya yang berlebihan dapat menyebabkan stres oksidatif. Spesi oksigen reaktif dapat terjadi pada penggunaan FiO2 = 1 yang lama, seperti pada preoksigenasi.[1,2]

Kesimpulan

Induksi anestesi dan tata laksana jalan nafas dikaitkan dengan keadaan apnea yang berpotensi menyebabkan desaturasi oksihemoglobin arteri. Preoksigenasi merupakan tindakan yang dilakukan sebelum induksi anestesi dalam upaya menunda desaturasi oksihemoglobin arteri. Preoksigenasi dinilai bermanfaat dalam menunda desaturasi yang dapat menyebabkan berbagai efek pada tubuh hingga kematian. Walaupun memiliki manfaat yang telah terbukti, preoksigenasi dapat memiliki risiko tersendiri, seperti tertundanya diagnosis kesalahan intubasi, atelektasis pulmoner, dan produksi spesi oksigen reaktif.

Tindakan preoksigenasi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Tindakan ini tidak perlu dilakukan pada pasien yang tidak memiliki risiko aspirasi tinggi, agar risiko preoksigenasi tidak terjadi. Preoksigenasi harus dilakukan dengan teknik dan pengawasan yang baik, seperti penggunaan CPAP atau PEEP maupun monitor EtO2 dan EtCO2, agar manfaat preoksigenasi bisa maksimal.

Referensi