Panduan E-Prescription Antivirus Oral COVID-19

Panduan e-prescription antivirus oral untuk terapi COVID-19 ini memuat informasi tentang molnupiravir, Paxlovid™ (nirmatrelvir/ritonavir), dan favipiravir (Avigan™). Obat-obat ini telah mendapatkan emergency use authorization (EUA) untuk terapi COVID-19. Dokter harus berhati-hati ketika meresepkan obat-obat ini karena molnupiravir dan favipiravir bersifat teratogenik sehingga dikontraindikasikan pada kehamilan, sementara Paxlovid™ memiliki banyak interaksi obat signifikan.

Sampai beberapa waktu terakhir, opsi terapi untuk mencegah progresivitas COVID-19 ke kondisi serius yang membutuhkan rawat inap dan admisi ke ICU belum tersedia.

Antivirus oral molnupiravir dan Paxlovid™ dipercaya dapat mencegah perburukan penyakit pada pasien yang berisiko, tetapi belum memiliki uji klinis yang terpublikasi.

Sementara itu, studi-studi baru dengan jumlah sampel yang lebih besar mengenai favipiravir mendapatkan bahwa favipiravir tidak efektif dalam mencegah perburukan penyakit seperti mencegah perawatan di ICU, penggunaan ventilasi mekanik, ataupun tingkat kematian pada pasien COVID-19. Oleh karena itu, favipiravir tidak lagi digunakan dalam penatalaksanaan COVID-19.

Molnupiravir and Paxlovid™ telah mendapatkan EUA dari beberapa negara (termasuk USFDA dan BPOM) berdasarkan hasil tes yang dirilis oleh perusahaan produsennya masing-masing. Sementara itu, favipiravir adalah antivirus yang dikembangkan di Jepang untuk manajemen influenza.

Mengingat informasi yang ada tentang obat-obat ini masih terbatas, rekomendasi penggunaannya mungkin akan berubah seiring berjalannya waktu dan detil baru tentang kontraindikasi, efek samping, dan interaksi obatnya mungkin akan ditemukan. Oleh karena itu, bila Dokter meresepkan obat-obat ini, Dokter perlu selalu mengikuti update informasi terbaru.

Tanda dan Gejala

Pasien yang boleh mendapatkan obat antivirus oral harus memenuhi semua kriteria berikut:

Menurut uji klinis Paxlovid™ yang belum dipublikasikan dan belum menjalani peer-review, sebanyak 0,8% subjek studi yang diberikan Paxlovid™ dirawat inap hingga 28 hari setelah uji klinis (3 dari 389 pasien dirawat inap, tanpa kematian). Hasil tersebut dibandingkan dengan kelompok plasebo, dimana terdapat 7,0% subjek studi yang menerima plasebo perlu dirawat inap.[1]

Namun, uji klinis PaxlovidTM tersebut menggunakan subjek studi yaitu pasien yang belum menerima vaksinasi COVID-19. Efikasi PaxlovidTM pada pasien COVID-19 yang sudah menerima vaksinasi ataupun dengan riwayat infeksi COVID-19 sebelumnya belum diketahui dan saat ini masih sedang diteliti.[1]

Uji klinis fase 3 terhadap molnupiravir yang dilakukan oleh Merck (juga belum dipublikasikan dan belum menjalani peer-review) menunjukkan bahwa 7,3% pasien yang menerima molnupiravir perlu dirawat inap bila dibandingkan dengan 14,1% pasien penerima plasebo yang perlu dirawat inap akibat COVID-19.[2]

Suatu uji klinis acak terkontrol dilakukan oleh Chen et al terhadap 240 pasien COVID-19 untuk memeriksa efektivitas favipiravir dan membandingkannya dengan arbidol. Hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan kebutuhan terapi oksigen atau ventilasi di antara kedua grup obat ini.[7]

Suatu studi yang membandingkan favipiravir dan antivirus lain menunjukkan ada peningkatan viral clearance pada grup favipiravir, tetapi luaran klinis yang penting seperti angka rawat inap, angka ventilasi, dan angka kematian tidak diperiksa.[8]

Beberapa studi terbaru oleh Manabe et al, Bosaeed et al, Shinkai et al, dan Ozlusen et al menemukan bahwa meski terjadi peningkatan viral clearance, favipiravir tidak mengurangi kebutuhan perawatan ICU, penggunaan ventilasi mekanik, maupun mortalitas pada pasien COVID-19.[10-13]

Peringatan

Tiap obat antivirus oral untuk terapi COVID-19 memiliki kontraindikasi dan interaksi obat masing-masing. Molnupiravir dan favipiravir tidak boleh diberikan kepada ibu hamil maupun orang yang berencana hamil. Paxlovid™  memiliki interaksi obat signifikan yang harus dipertimbangkan, memiliki risiko hepatotoksisitas, dan mungkin menyebabkan resistensi HIV.

Molnupiravir

Dalam studi terhadap hewan coba, molnupiravir tampak bersifat teratogenik dan bisa menyebabkan abortus serta abnormalitas (gangguan skeletal, gangguan mata, dan malformasi ginjal). Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Wanita yang mungkin hamil harus menjalani tes kehamilan sebelum menggunakan obat ini.

Semua orang usia reproduktif yang hendak menggunakan obat ini juga harus mendapat informasi bahwa pihak perempuan harus memakai kontrasepsi yang bisa diandalkan selama durasi terapi dan selama 4 hari setelah dosis terakhir, sedangkan pihak laki-laki harus memakai kontrasepsi yang bisa diandalkan selama durasi terapi dan selama 3 bulan setelah dosis terakhir. Hal ini bertujuan untuk mencegah birth defects.[3]

Pemberian molnupiravir pada ibu menyusui juga harus berhati-hati karena adanya kekhawatiran tentang toksisitas tulang dan kartilago bayi. Ibu menyusui yang menggunakan obat ini sebaiknya tidak menyusui bayinya selama durasi terapi dan selama 4 hari setelah dosis terakhir. Ibu menyusui dapat disarankan untuk pump ASI lalu membuang ASI tersebut bila dirinya berencana untuk tetap menyusui setelah mengonsumsi molnupiravir.

Pada anak-anak yang berusia <18 tahun, molnupiravir tidak disetujui penggunaannya karena studi pada hewan menunjukkan toksisitas tulang dan kartilago. Tidak ada penyesuaian dosis molnupiravir yang diperlukan untuk pasien gangguan hati maupun gangguan ginjal. Efek samping yang paling umum dilaporkan adalah mual, diare, dan rasa pusing.[3]

Hasil penelitian PANORAMIC (2023), yang melibatkan subjek yang luas dan besar, menunjukkan bahwa penggunaan molnupiravir pada populasi rentan dan telah tervaksinasi COVID-19 tidak menurunkan morbiditas dan mortalitas.[14]

Paxlovid™ (Nirmatrelvir/Ritonavir)

Paxlovid™ sangat tergantung pada sitokrom P-450 CYP3A untuk clearance, sehingga obat ini memiliki interaksi obat yang signifikan dengan obat-obat lain yang juga tergantung pada CYP3A. Penggunaan bersama bisa menyebabkan toksisitas yang mengancam nyawa.

Daftar interaksi obat yang lengkap dapat ditemukan di Fact Sheet FDA. https://www.fda.gov/media/155050/download

Interaksi obat dengan Paxlovid™  yang dapat meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma hingga menyebabkan kondisi yang mengancam nyawa adalah:

  • Antagonis alpha1-adrenoreseptor: alfuzosin
  • Analgesik: pethidine, piroxicam, propoxyphene
  • Antiangina: ranolazine
  • Antiaritmia: amiodarone, flecainide, propafenone, quinidine

  • Antigout: colchicine

  • Antipsikotik: lurasidone, pimozide, clozapine

  • Derivatif ergot: dihydroergotamine, ergotamine, methylergonovine
  • Inhibitor HMG-CoA reduktase: lovastatin, simvastatin

  • Inhibitor PDE5: sildenafil (Revatio®) ketika digunakan untuk pulmonary arterial hypertension (PAH)
  • Sedatif/hipnotik: triazolam, midazolam oral[4]

Paxlovid™ juga dapat berinteraksi dengan obat-obat berikut dan mengurangi konsentrasi obat dalam plasma:

  • Obat antikanker: apalutamide
  • Obat antikonvulsan: carbamazepine, phenobarbital, phenytoin

  • Antimycobacterials: rifampin
  • Produk herbal: St. John’s Wort (Hypericum perforatum)[4]

Daftar-daftar ini bukan merupakan daftar interaksi obat yang komplit karena Paxlovid™  memiliki interaksi obat yang sangat luas. Dokter harus menanyakan riwayat medis tiap pasien dengan lengkap lalu memeriksa risiko interaksi obat di Fact SheetFDA untuk memastikan tidak ada interaksi obat.[4]

Favipiravir

Favipiravir bersifat teratogenik. Dalam studi terhadap hewan, obat ini menyebabkan abortus di awal kehamilan dan menyebabkan birth defects. Oleh karena itu, obat ini tidak disarankan untuk ibu hamil. Wanita yang mungkin hamil harus menjalani tes kehamilan untuk memastikan bahwa dirinya sedang tidak hamil sebelum memulai konsumsi obat ini.

Karena obat ini memiliki efek teratogenik pada pria maupun wanita, semua pria maupun wanita usia reproduktif harus diminta menggunakan kontrasepsi yang dapat diandalkan selama durasi terapi dan selama 7 hari setelah dosis terakhir.[5]

Seperti molnupiravir, favipiravir juga tidak dianjurkan untuk anak-anak karena ada kekhawatiran tentang toksisitas dan gangguan perkembangan muskuloskeletal. Kekhawatiran tentang perkembangan muskuloskeletal menyebabkan obat ini tidak direkomendasikan untuk anak usia <18 tahun.[5]

Efek samping signifikan dari favipiravir yang pernah dilaporkan adalah:

Medikamentosa

Terapi medikamentosa dengan antivirus oral seperti molnupiravir dan Paxlovid™  (nirmatrelvir/ritonavir) diberikan di awal infeksi COVID-19 yang terkonfirmasi (dalam rentang waktu 5 hari sejak onset gejala) pada orang yang berisiko mengalami perburukan COVID-19 ke derajat berat.

Molnupiravir

Molnupiravir diberikan segera setelah COVID-19 didiagnosis (dalam rentang waktu 5 hari sejak onset gejala) pada pasien yang tidak membutuhkan rawat inap.

Dewasa:

Molnupiravir diberikan dalam dosis 800 mg (4 x 200 mg tablet) tiap 12 jam selama 5 hari secara peroral. Tablet harus ditelan utuh (tidak boleh dihancurkan atau dibuka). Tablet dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan.

Jika suatu dosis terlewat >10 jam, anjurkan pasien untuk mengonsumsi dosis selanjutnya sesuai jadwal yang sudah ada (jangan konsumsi dosis dobel). Durasi terapi 5 hari disarankan untuk memaksimalkan viral clearance.[3]

Anak:

Molnupiravir tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun.[3]

Paxlovid™ (Nirmatrelvir/Ritonavir)

Paxlovid™  adalah tablet nirmatrelvir yang dikemas bersama tablet ritonavir. Pemberian dilakukan segera setelah COVID-19 didiagnosis dalam rentang waktu 5 hari sejak onset gejala.

Dewasa:

Dosis yang diberikan adalah Paxlovid™  yang terdiri dari 300 mg nirmatrelvir (2 x 150 mg tablet) dan 100 mg ritonavir (1 x 100 mg tablet). Ketiga tablet diminum bersamaan dua kali sehari, selama 5 hari, secara peroral. Tablet dapat diminum dengan atau tanpa makanan.

Pasien Gangguan Ginjal:

Pada pasien dengan eGFR ≥30 hingga <60 mL/menit, kurangi dosis menjadi 150 mg nirmatrelvir (1 x 150 mg tablet) dan 100 mg ritonavir (1 x 100 mg tablet). Kedua tablet diminum bersamaan dua kali sehari selama 5 hari. Paxlovid™  tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan ginjal parah (eGFR <30 mL/menit).

Pasien Gangguan Hati:

Paxlovid™  tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati yang parah (Child-Pugh Class C).

Anak:

Pada anak usia >12 tahun dengan berat badan minimal 40 kg, Paxlovid™  dapat diberikan seperti dosis dewasa. Paxlovid™  tidak dianjurkan untuk anak <12 tahun.[4]

Penggunaan pada Wanita Hamil dan Menyusui

Molnupiravir dan favipiravir tidak direkomendasikan untuk wanita hamil atau wanita menyusui karena adanya risiko teratogenesis pada studi hewan. Pria maupun wanita usia reproduktif disarankan untuk menggunakan kontrasepsi yang dapat diandalkan selama durasi terapi dan setelah terapi untuk mencegah birth defects pada anak.

Molnupiravir:

Molnupiravir tidak dianjurkan untuk wanita hamil maupun wanita/pria yang berencana hamil karena adanya efek teratogenik pada studi hewan. Wanita menyusui dianjurkan untuk menghentikan pemberian ASI atau melakukan pump ASI (lalu dibuang) selama durasi terapi dan selama 4 hari setelah dosis terakhir.[3]

Paxlovid™ :

Saat ini tidak ada studi pada manusia yang menunjukkan keamanan Paxlovid™  pada ibu hamil dan ibu menyusui. Studi pada hewan tidak menunjukkan peningkatan risiko birth defects mayor.[4]

Favipiravir:

Favipiravir tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena studi pada hewan menunjukkan efek teratogenik. Wanita yang mungkin hamil harus menjalani tes kehamilan untuk memastikan bahwa dirinya sedang tidak hamil sebelum menggunakan obat ini. Karena ada efek teratogenik pada pria maupun wanita, semua pria dan wanita usia reproduktif harus menggunakan kontrasepsi yang dapat diandalkan selama durasi terapi dan selama 7 hari setelah dosis terakhir.[5]

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi