Simplifikasi Terapi Insulin untuk Diabetes Tipe 2 Tidak Terkontrol: Pilihan yang Tersedia di Formularium Jaminan Kesehatan Nasional

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Simplifikasi terapi insulin untuk tata laksana pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) yang tidak terkontrol perlu dilakukan dan didukung dengan ketersediaannya di formularium jaminan kesehatan nasional (JKN). Hal ini direkomendasikan agar mengurangi efek samping seperti hipoglikemia dan penambahan berat badan, serta meningkatkan cost-effectiveness dan angka kepatuhan pasien, sehingga komplikasi kardiovaskular akibat DM tipe 2 dapat ditekan.

Rekomendasi Kontrol Kadar Glukosa pada Diabetes Mellitus tipe 2

Rekomendasi Standards of Medical Care In Diabetes tahun 2022 oleh American Diabetes Association (ADA) untuk kontrol glikemik bagi pasien diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) yang tidak hamil menargetkan preprandial capillary plasma glucose di antara 80-130 mg/dL atau 4,4-7,2 mmol/L, peak postprandial capillary plasma glucose <180 mg/dL atau 10 mmol/L, dan HbA1c <7,0%.[1]

InsulinDMtipe2

Sedangkan untuk ambulatory glucose profile, direkomendasikan bahwa time in range kadar glukosa plasma antara 70 sampai 180 mg/dL >70% dengan time below range <4% (kadar glukosa plasma <70 mg/dL) dan time above range <25% (kadar glukosa >180mg/dL). Persentase time yang dimaksud ini adalah berapa persen dalam 24 jam, misalnya bila time in range 70%, berarti 70% dalam 24 jam (kurang lebih 17 jam) disarankan kadar glukosa plasma berada dalam range 70 sampai 180 mg/dL.[1] 

Bagi pasien DM tipe 2 yang gagal mencapai kontrol glikemik walaupun sudah mendapat kombinasi obat oral antidiabetes dan behavioural intervention (misalnya diet, aktivitas fisik) atau dengan kadar HbA1c >10% atau hiperglikemia >300 mg/dL, disarankan untuk memulai penggunaan dini agonis reseptor glucagon-like peptide 1 (GLP-1 RA), seperti liraglutide, atau insulin basal (long acting-insulin).[2] 

Jika masih belum mencapai target HbA1c, maka disarankan untuk intensifikasi insulin dengan menambah insulin prandial (regimen basal-bolus insulin) atau agonis reseptor glucagon-like peptide 1 (GLP-1 RA) atau kombinasinya.[2] 

Masalah dengan Intensifikasi Insulin 

Penerapan intensifikasi insulin khususnya regimen basal bolus dapat mengontrol hiperglikemia, tetapi juga meningkatkan risiko hipoglikemia, dan penambahan berat badan akibat efek anabolik insulin. Selain itu, intensifikasi insulin akan menambah kompleksitas penggunaan insulin karena bertambahnya frekuensi injeksi termasuk peningkatan self-monitoring blood glucose yang akan mempengaruhi kenyamanan sekaligus kepatuhan dan cost-effectiveness terapi insulin.[3,4] 

Upaya untuk Simplifikasi Terapi Insulin 

Upaya untuk simplifikasi terapi insulin dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah pasien mengontrol kadar gula darah sehingga meningkatkan kepatuhan berobat, mengurangi efek samping seperti hipoglikemia dan penambahan berat badan, serta membuat tata laksana dengan insulin menjadi cost-effective.

Insulin Basal untuk Mengontrol Gula Darah Puasa

Untuk mengontrol kadar gula darah puasa (GDP), digunakan insulin basal. Pilihan konvensional adalah intermediate acting insulin, sedangkan yang umum digunakan adalah long acting insulin. Intermediate acting insulin mulai bekerja dalam waktu 2 sampai 4 jam dan mencapai peak dalam waktu 12 jam kemudian (NPH insulin). Long-acting insulin memasuki aliran darah dalam waktu beberapa jam dan bisa bertahan hingga 24 jam kemudian. Contoh long-acting insulin adalah insulin glargine 100 (Iglar 100) dan insulin detemir (IDet).[3] 

Akan tetapi, baik intermediate maupun long-acting insulin mempunyai limitasi, yakni farmakodinamik yang suboptimal untuk bisa menjaga kadar gula darah puasa (GDP) selama 24 jam secara konsisten, serta risiko hipoglikemia. [5,6] 

Limitasi tersebut teratasi dengan diperkenalkan insulin analog ultra-long acting, yakni insulin glargine 300 (IGlar 300) dan insulin degludec (IDeg). Penemuan insulin basal ultra-long acting dapat mengontrol glikemik kadar GDP dengan meminimalisir risiko hipoglikemia nokturnal. Akan tetapi, tidak berpengaruh signifikan terhadap kontrol gula post prandial.[3,7] 

Insulin Prandial untuk Mengontrol Gula Darah Post Prandial

Untuk mengontrol kadar gula postprandial, dibutuhkan insulin prandial dengan opsi rapid-acting insulin dan regular atau short-acting insulin. Rapid-acting insulin bekerja dalam waktu 15 menit setelah injeksi dan mencapai peak dalam waktu 1 sampai 2 jam, contohnya seperti insulin f, glulisine, dan lispro.[4] 

Sedangkan regular atau short-acting insulin yang bekerja mulai dari 30 menit setelah injeksi kemudian mencapai peak dalam waktu 2 sampai 3 jam kemudian, misalnya seperti human regular insulin. Akan tetapi, masalah utama yang ditimbulkan dengan penggunaan insulin prandial adalah meningkatnya risiko hipoglikemia dan pertambahan berat badan.[4]

Premixed Insulin 

Alternatif lainnya ialah menggunakan premixed insulin yang terdiri dari kombinasi rapid-acting insulin dengan intermediate acting insulin, misalnya insulin aspart plus NPH insulin. Akan tetapi, penggunaan premixed insulin tidak fleksibel.[4,8] 

Selain itu, penggunaan kombinasi non-protaminated rapid-acting insulin dengan protaminated intermediate-acting insulin tidak mendekati profil kerja insulin endogen, dan menimbulkan masalah shoulder effect. Shoulder effect ini terjadi karena efek komponen prandial dari short acting insulin karena kombinasi insulin di atas, sehingga meningkatkan risiko hipoglikemia.[9,10] 

Cara Menyederhanakan Terapi Kombinasi Insulin yang Dapat Mengontrol Baik Kadar Gula Puasa maupun Post Prandial

Salah satu opsi untuk menyederhanakan kombinasi insulin untuk mengontrol kadar gula darah puasa maupun postprandial adalah menggabungkan (co-formulation) rapid-acting insulin dengan long-acting atau ultra-long acting insulin. Akan tetapi, masalah perbedaan solubilitas pH dari masing-masing komponen dan interaksi molekul membatasi terwujudnya hal tersebut, sampai diperkenalkannya co-formulation yang stabil yakni insulin aspart plus insulin degludec (IDegAsp).[10] 

Insulin Aspart Plus Insulin Degludec (IDegAsp)

Insulin aspart plus insulin degludec menawarkan opsi terapi yang fleksibel dan simpel, yaitu injeksi 1 atau 2 kali sehari. Selain itu, insulin ini memiliki risiko hipoglikemia yang minimal daripada regimen basal bolus (injeksi 4 empat kali sehari subkutan) maupun premixed insulin sebelumnya.[10,11] 

Hal ini dibuktikan lebih lanjut melalui data real world yang baru saja dipublikasikan. Fulcher et al. yang melaporkan percobaan open label, non-intervensi pada 1102 pasien diabetes tipe 2 di enam negara (Australia, India, Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan Afrika Selatan) yang telah mendapatkan terapi antidiabetik oral/insulin basal/insulin basal-bolus/premix insulin/GLP-1 RA kemudian diganti ke IDegAsp kemudian diobservasi selama 26 minggu.[12] 

Hasil studi menemukan rerata penurunan HbA1C termasuk GDP berkurang signifikan pada pasien yang menggunakan IDegAsp 1 atau 2 kali sehari. Hasil temuan tersebut konsisten baik untuk subgrup pengguna obat oral antidiabetik/insulin basal/insulin basal-bolus/premix insulin/GLP-1 RA sebelumnya, dan konsisten pula di semua negara yang terlibat dalam studi tersebut. Bahkan pada pemantauan di minggu ke-36, ditemukan bahwa ada sedikit penurunan pada berat badan pasien, karena penurunan jumlah insulin yang digunakan, dengan risiko hipoglikemia yang minimal.[12] 

Kombinasi Agonis Reseptor Glucagon-Like Peptide 1 dengan Insulin Basal

Alternatif opsi simplifikasi lainnya untuk mengontrol kadar gula darah puasa maupun postprandial ialah dengan menggunakan kombinasi GLP-1RA dengan insulin basal 1 kali sehari subkutan, misalnya lixisenatide plus insulin glargine atau iGlarLixi atau kombinasi liraglutide dengan insulin degludec atau IDegLira.[13] 

Data terbaru real world evidence yang dilaporkan oleh Cornelia Bala et al. di Rumania menemukan bahwa mean penurunan HbA1C dan GDP berkurang signifikan di akhir masa observasi studi, yaitu minggu ke-24, demikian pula dengan penurunan berat badan pada pasien yang menggunakan iGlarLixi sekali sehari. Hanya 1,5% pasien yang melaporkan hipoglikemia asimptomatik. Laporan real world evidence dari penggunaan IdegLira melaporkan hasil yang serupa.[14,15] 

Pilihan yang Tersedia di Formularium Jaminan Kesehatan Nasional

Dari sekian banyak jenis insulin yang terdaftar, saat ini di formularium jaminan kesehatan nasional (JKN), hanya kombinasi insulin degludec dan insulin aspart yang sudah tersedia untuk diterapkan dalam upaya simplifikasi terapi insulin bagi pasien diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol. Opsi kombinasi iGlar-Lixi ataupun IdegLira belum masuk dalam formularium JKN meskipun pilihan terapi ini sudah masuk dalam pedoman tata laksana diabetes nasional oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni).[16,17] 

Kesimpulan 

Upaya simplifikasi terapi insulin bagi pasien diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol amat penting dilakukan mengingat bahaya risiko hipoglikemia, peningkatan berat badan maupun kompleksitas penggunaan insulin pada regimen basal bolus konvensional yang berpotensi besar mengurangi kepatuhan pasien pada terapi serta cost-effectiveness. Opsi terapi ini sudah dapat diterapkan di negara Indonesia mengingat kombinasi insulin degludec plus insulin aspart sudah masuk dalam formularium JKN. 

Referensi