Lecanemab Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif pada Alzheimer Dini – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Danar Dwi Anandika, SpN

Lecanemab in Early Alzheimer’s Disease

van Dyck CH, Swanson CJ, Aisen P, Bateman R, Chen C, Gee M, et al. Lecanemab in Early Alzehimer's Disease. The New England Journal of Medicine. 2023 Jan 5;388(1):9-21 PMID: 36449413.

layak

Abstrak

Latar Belakang: akumulasi agregasi amyloid-beta (Aβ) yang terlarut dan tidak larut dapat menginisiasi atau mempercepat proses patologis pada penyakit Alzheimer. Lecanemab, suatu antibodi monoklonal IgG1 humanized yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap protofibril Aβ terlarut, sedang diuji pada pasien-pasien dengan penyakit Alzheimer dini.

Metode: uji klinis fase 3 ini dilakukan dalam kurun waktu 18 bulan secara multicenter, double-blind, dengan subjek berusia 50–90 tahun yang mengalami penyakit Alzheimer dini. Penyakit Alzheimer dini dibuktikan dengan adanya amyloid pada positron-emission tomography (PET) atau dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.

Subjek secara acak mendapatkan lecanemab intravena (10 mg/kgBB setiap 2 minggu) atau plasebo, dengan rasio 1:1. Luaran primer penelitian ini adalah perubahan skor Clinical Dementia Rating-Sum of Boxes (CDR-SB) dari baseline setelah 18 bulan. CDR-SB memiliki rentang 0–18, di mana skor yang lebih tinggi menunjukkan gangguan yang lebih berat.

Ada beberapa luaran sekunder yang dinilai, yaitu perubahan timbunan amyloid pada PET, skor pada 14-item cognitive subscale of the Alzheimer’s Disease Assessment Scale (ADAS-cog14), Alzheimer’s Disease Composite Score (ADCOMS), serta skor pada Alzheimer’s Disease Cooperative Study-Activities of Daily Living Scale for Mild Cognitive Impairment (ADCS-MCI-ADL).

ADAS-cog14 memiliki rentang 0–90, sedangkan ADCOMS memiliki rentang 0–1,97. Untuk keduanya, skor yang lebih tinggi menunjukkan gangguan yang lebih berat. Akan tetapi, untuk ADCS-MCI-ADL, skor yang lebih rendah justru menunjukkan gangguan yang lebih berat, yakni dalam rentang 0–53.

Hasil:

Dari total 1.795 subjek, 898 subjek mendapatkan lecanemab dan 897 mendapatkan plasebo. Rerata skor CDR-SB pada baseline adalah sekitar 3,2 pada kedua grup. Rerata perubahan skor CDR-SB dari baseline setelah 18 bulan adalah 1,21 untuk grup lecanemab dan 1,66 untuk grup plasebo (perbedaan -0,45; 95%CI -0,67 hingga -0,23; P<0,001).

Dalam substudy terhadap 698 subjek, terdapat penurunan timbunan amyloid otak yang lebih signifikan pada grup lecanemab daripada grup plasebo (perbedaan -59,1; 95%CI -62,6 hingga -55,6).

Antara kedua grup, rerata perbedaan luaran-luaran lain yang dihitung dari baseline juga menunjukkan bahwa grup lecanemab mendapatkan hasil yang lebih baik, yakni sebagai berikut: perbedaan ADAS-cog14 sebesar -1.44 (95%CI -2,27 hingga -0,61; p<0,001), perbedaan ADCOMS sebesar -0,050 (95%CI -0,074 hingga -0,027; p<0,001), dan perbedaan ADCS-MCI-ADL sebesar 2,0 (95%CI 1,2 hingga 2,8; p<0,001).

Pemberian lecanemab menyebabkan reaksi terkait pemberian infus sebesar 26,4% dan abnormalitas pencitraan terkait amyloid dengan edema atau efusi sebesar 12,6%.

Kesimpulan:

Lecanemab dapat menurunkan marker amyloid pada penyakit Alzheimer dini dan menghasilkan penurunan fungsi dan kognitif yang lebih sedikit daripada plasebo setelah 18 bulan, tetapi menimbulkan efek samping. Penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama perlu dilakukan untuk menilai efikasi dan keamanan lecanemab pada penyakit Alzheimer dini.

Lecanemab Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif pada Alzheimer Dini-min

Ulasan Alomedika

Pengurangan plak amyloid dihubungkan dengan perlambatan progresivitas penyakit Alzheimer. Oleh sebab itu, antibodi monoklonal seperti lecanemab yang dapat berikatan dengan protofibril amyloid-beta (Aβ) terlarut dan mengurangi plak amyloid diharapkan bisa memperlambat proses penurunan fungsi kognitif pada pasien Alzheimer dini.

Penelitian van Dyck, et al. ini dilakukan untuk membuktikan efektivitas klinis lecanemab yang diberikan selama 18 bulan untuk pasien Alzheimer dini dan mengetahui efek-efek samping yang mungkin terjadi.

Ulasan Metode Penelitian

Uji klinis fase 3 ini dilakukan secara double-blind, sehingga dapat menghilangkan bias plasebo. Penelitian ini juga dilakukan secara multicenter dengan protokol yang serupa pada masing-masing pusat uji klinis, sehingga peneliti bisa mendapatkan jumlah dan karakteristik subjek yang sesuai.

Pemberian lecanemab intravena maupun plasebo dilakukan secara acak dengan rasio 1:1 pada masing-masing subgrup. Pengacakan dalam uji klinis merupakan salah satu aspek penting yang dapat mengurangi bias seleksi dan faktor perancu.

Metode penelitian yang dilakukan juga baik, karena selain melaksanakan upaya-upaya untuk mengurangi bias seperti yang disebutkan di atas, penelitian ini juga melibatkan pihak independent di luar tim peneliti untuk melakukan evaluasi dan monitoring data selama uji klinis berlangsung.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran primer penelitian ini adalah perubahan skor Clinical Dementia Rating-Sum of Boxes (CDR-SB) yang dihitung dari baseline setelah 18 bulan. Terdapat 6 domain yang harus diperiksa. Masing-masing domain memiliki skor 0–3, di mana skor lebih tinggi menunjukkan gangguan yang lebih berat. Skor 0,5–6 menunjukkan adanya penyakit Alzheimer dini.

Lecanemab menunjukkan hasil yang lebih memuaskan bila dibandingkan plasebo. Rerata perubahan skor CDR-SB dari baseline adalah 1,21 pada grup lecanemab dan 1,66 pada grup plasebo. Hal ini menunjukkan bahwa grup lecanemab mengalami perlambatan penurunan fungsi kognitif bila dibandingkan dengan grup plasebo (dilihat dari skor CDR-SB). Namun, efek yang bermakna secara klinis dari temuan ini belum dapat ditentukan.

Selain luaran primer di atas, terdapat beberapa luaran sekunder yang dievaluasi dalam uji klinis ini, yaitu timbunan amyloid pada PET, skor ADAS-cog14, skor ADCOMS, serta skor ADCS-MCI-ADL. Grup lecanemab menunjukkan hasil yang lebih unggul daripada grup plasebo pada semua luaran sekunder ini. Namun, seperti pada luaran primer, efek yang bermakna secara klinis dari temuan-temuan ini masih dipertanyakan.

Pemberian lecanemab juga dapat menyebabkan beberapa efek samping. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah reaksi terkait pemberian infus sebesar 26,4% dan abnormalitas pencitraan terkait amyloid dengan edema atau efusi sebesar 12,6%.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu perlakuan secara double-blind yang dapat meminimalkan bias plasebo. Selain itu, pemberian intervensi dengan lecanemab intravena dan plasebo dilakukan secara acak dengan rasio 1:1, sehingga mengurangi bias seleksi dan faktor perancu.

Luaran primer juga merupakan luaran yang mudah diperiksa dan cukup reliable untuk dijadikan barometer perubahan fungsi kognitif pada pasien dengan penyakit Alzheimer. Selain itu, uji klinis ini juga menyertakan luaran sekunder yang mendukung superioritas lecanemab bila dibandingkan plasebo.

Penelitian ini juga melibatkan tim independent di luar tim peneliti untuk ikut melakukan monitoring dan evaluasi terhadap uji klinis.

Limitasi Penelitian

Data diambil hanya dalam jangka waktu 18 bulan, sedangkan beberapa penelitian lain mengenai peran lecanemab terhadap Alzheimer dilakukan dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selain itu, uji klinis ini dilakukan saat pandemi COVID-19 sedang terjadi, sehingga ada beberapa permasalahan seperti terlewatnya dosis dan keterlambatan assessment.

Penelitian ini juga hanya membandingkan efektivitas dan keamanan lecanemab dengan plasebo, bukan membandingkan lecanemab dengan obat lain, misalnya aducanumab yang juga merupakan antibodi monoklonal dan telah disetujui oleh FDA sebagai terapi penyakit Alzheimer. Selain itu, luaran primer dan sekunder yang dianalisis dalam studi ini adalah skor-skor yang maknanya secara klinis belum dapat dipastikan.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Penelitian ini menunjukkan bahwa lecanemab dapat memperlambat penurunan fungsi kognitif pada pasien dengan penyakit Alzheimer dini. Namun, selain masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan waktu yang lebih panjang untuk mengonfirmasi hasil ini, lecanemab juga belum dapat digunakan di Indonesia karena memang belum tersedia.

Untuk saat ini, terapi Alzheimer tetap berfokus pada terapi medikamentosa yang lain untuk mengurangi gejala dan terapi nonmedikamentosa seperti pendekatan perilaku. Penatalaksanaan penyakit Alzheimer perlu melibatkan komunikasi yang adekuat antara dokter, pengasuh pasien, dan pasien. Pencegahan komplikasi seperti terjatuh juga perlu dilakukan dengan penyederhanaan lingkungan.

Referensi