Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • SKP
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Penatalaksanaan Anemia Sel Sabit general_alomedika 2022-11-21T17:04:16+07:00 2022-11-21T17:04:16+07:00
Anemia Sel Sabit
  • Pendahuluan
  • Test01
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Anemia Sel Sabit

Oleh :
dr. Reren Ramanda
Share To Social Media:

Penatalaksanaan anemia sel sabit, atau sickle cell anemia, meliputi pemberian hidroksiurea sebagai disease modifier drug, transfusi darah sesuai indikasi, dan tata laksana suportif untuk nyeri dan komplikasi yang mungkin muncul.

Hidroksiurea

Terapi dengan hidroksiurea direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan anemia sel sabit. Hidroksiurea meningkatkan kadar hemoglobin total dan fetal pada anak dengan penyakit sel sabit, sehingga gelasi dan penyabitan dari sel darah merah mampu dihambat. Hidroksiurea juga menurunkan kadar leukosit di sirkulasi, sehingga menurunkan perlengketan ke endotel yang akan menurunkan frekuensi episode nyeri dan acute chest syndrome.

Dosis awal bagi pasien dewasa adalah 15 mg/kg/hari. Dosis untuk infant dan anak-anak adalah 20 mg/kg/hari. Jika pasien memiliki penyakit ginjal kronis, sesuaikan dosis menjadi 5-10 mg/kg/hari. Lakukan pemantauan laboratorium darah lengkap dengan hitung jenis dan retikulosit setidaknya setiap 4 minggu.[1,16]

Indikasi pemberian hidroksiurea adalah :

  • Episode nyeri ≥6 per tahun
  • Riwayat acute chest syndrome

  • Riwayat kejadian vasooklusif berat lain
  • Anemia simptomatik derajat berat
  • Nyeri kronis berat yang tidak remisi walaupun telah mendapat terapi adekuat
  • Riwayat atau risiko tinggi stroke[4]

Transfusi Darah

Transfusi darah darurat diberikan jika terjadi anemia berat akibat sekuestrasi splenik akut, infeksi parvovirus B19, atau krisis hiperhemolisis. Transfusi juga bisa dimanfaatkan pada kasus anemia sel sabit dengan acute chest syndrome, perioperatif, dan kehamilan.

Sementara itu, indikasi transfusi tukar akut adalah :

  • Stroke iskemik akut
  • Acute chest syndrome derajat berat

  • Sindrom gagal organ multipel
  • Sindrom kuadran kanan atas
  • Priapismus yang tidak membaik setelah hidrasi dan analgesia adekuat[4,16]

Pemberian transfusi sel darah merah jangka panjang ditujukan untuk menekan produksi hemoglobin S dan sebagai pencegahan terjadinya overt stroke pada pasien dengan penyakit sel sabit. Hemoglobin S diharapkan dapat ditekan hingga kurang dari 30% pada tiga tahun pertama terapi, selanjutnya penekanan hanya ditargetkan kurang dari 50%.[1,4,7]

Komplikasi akibat transfusi darah meliputi risiko hiperviskositas, aloimunisasi, hemolisis, dan kelebihan besi. Awasi adanya delayed hemolytic transfusion reaction yang ditandai dengan anemia akut, nyeri, atau ikterus dalam 3 minggu setelah transfusi darah. Sementara itu, pada pasien yang mendapat terapi transfusi jangka panjang, lakukan pemantauan kelebihan besi secara berkala, misalnya menggunakanan biopsi hepar dan MRI.[16]

Agen Terapi Suportif

Analgesik dapat diberikan pada pasien dengan nyeri ringan menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen dan ketorolak, atau analgesik nonopioid lain. Akan tetapi, untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal akut, pemilihan terapi sebaiknya menimbang rasio manfaat dan risiko, serta klinis masing-masing pasien. Terapi nyeri ini tidak disarankan melebihi 5 hari.

Opioid oral, seperti codeine, dapat menjadi pilihan pada pasien dengan nyeri yang lebih berat. Pada anak, opioid oral lepas lambat lebih disarankan dibandingkan opioid parenteral.[1]

Pencegahan dan Tata Laksana Infeksi

Pencegahan dan tata laksana infeksi yang adekuat pada anemia dan penyakit sel sabit akan mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Penicillin

Pemberian penicillin profilaksis dilaporkan mampu mengurangi insidensi infeksi organisme berkapsul, terutama S. pneumoniae, sehingga menurunkan risiko mortalitas. Pemberian profilaksis penicillin dapat dimulai pada usia 2 bulan dengan memberikan penicillin V atau penicillin G 125 mg dua kali sehari. Saat pasien berusia 3 tahun, dosis ditingkatkan menjadi 250 mg dua kali sehari.

Pemberian profilaksis penicillin sebaiknya dilanjutkan hingga usia 5 tahun atau sampai pasien remaja. Saat ini, manfaat dari kelanjutan profilaksis penicillin hingga dewasa sedang dalam proses penelitian, karena terdapat laporan yang mengindikasikan bahwa risiko septikemia akibat organisme berkapsul terus berlanjut hingga masa dewasa.

Jika pasien alergi terhadap penicillin, maka erythromycin dapat menjadi alternatif.[1,4,7]

Vaksin Pneumokokus

Peningkatan risiko bakteremia akibat Streptococcus pneumoniae mengindikasikan perlunya vaksin pneumokokus pada anak dengan penyakit sel sabit. Vaksinasi dapat diberikan dengan 13-valent pneumococcal conjugate vaccine dan pneumococcal polysaccharide vaccine. Vaksin diberikan di usia 2 tahun, dan dilakukan booster saat usia 5 tahun.[1,4,7]

Tata Laksana Komplikasi

Sebagai bagian dari penyakit sel sabit, tata laksana anemia sel sabit juga melibatkan manajemen krisis vasooklusif, tata laksana ulkus ekstremitas, dan manifestasi oftalmologi.

Manajemen Krisis Vasooklusif

Tata laksana krisis vasooklusif meliputi hidrasi dan analgesik intravena. Pasien sebaiknya dirawat inap. Terapi cairan dengan cairan salin normal atau dextrose 5% diberikan hingga dehidrasi teratasi dengan mempertimbangkan kehilangan cairan tambahan akibat demam.

Pemberian hidroksiurea dan crizanlizumab dilaporkan mampu menurunkan frekuensi timbulnya krisis vasooklusif.[4]

Tata Laksana Ulkus Ekstremitas

Ulkus ekstremitas dapat timbul akibat stasis vena dan hipoksia kronis. Ulkus dapat disertai infeksi sekunder, sehingga tata laksana melibatkan debridemen dan pemberian antibiotik. Beberapa literatur menyarankan pemberian dressing oklusif dengan zinc oksida disertai elevasi kaki. Transfusi darah dilaporkan mampu mempercepat penyembuhan ulkus.[4]

Tata Laksana Manifestasi Oftalmologi

Tata laksana manifestasi oftalmologi dari penyakit sel sabit ditujukan untuk mencegah penurunan tajam penglihatan akibat perdarahan vitreus, retinal detachment, dan membran epiretina. Tata laksana dapat meliputi pemberian agen topikal, namun hindari penyekat anhidrase karbonik karena dapat memperparah manifestasi.

Terapi bedah mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraokular yang tidak turun dengan medikamentosa.

Retinopati dapat diobati dengan diatermi, cryotherapy, dan fotokoagulasi. Tujuan tata laksana adalah menghilangkan neovaskularisasi sehingga mencegah sekuele dari retinopati.[4]

Referensi

1. Neville,KA and Panepinto, JA. Pharmacotherapy of Sickle Cell Disease. 18th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines (21 to 25 March 2011) NEW SECTION (Adults and Children). Available from : https://www.who.int/selection_medicines/committees/expert/18/applications/Sicklecell.pdf
4. Maakaron, JE. Medscape. Sickle cell anemia. 2019. Available from : https://emedicine.medscape.com/article/205926-differential
7. National Institute of Health. The Management of Sickle Cell Disease. 2002. Available from : https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/sc_mngt.pdf
16. Yawn BP, Buchanan GR, Afenyi-Annan AN, et al. Management of Sickle Cell Disease. JAMA, 2014. 312(10), 1033. doi:10.1001/jama.2014.10517

Diagnosis Anemia Sel Sabit
Prognosis Anemia Sel Sabit
Diskusi Terkait
dr.Pittara Pansawira
28 Juni 2022
Apakah saran untuk diagnosis awal sickle cell anemia bagi dokter layanan primer? - Hematologi & Onkologi Ask the Expert
Oleh: dr.Pittara Pansawira
2 Balasan
Selamat siang, dr. Alvin, SpPD-KHOM,Sebelumnya mohon maaf dok, saya masih sangat awam dengan penyakit sickel cell anemia. Apakah ada saran untuk dokter...
Anonymous
28 Juni 2022
Karakteristik nyeri pada pasien sickle cell - Hematologi & Onkologi Ask the Expert
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Selamat siang dokter Alvin,Apakah ada karakteristik nyeri pada pasien sickle cell? Apakah bisa dibedakan dengan nyeri lainnya, seperti myialgia atau neuropati?
Anonymous
28 Juni 2022
Usia berapa pasien sickle cell? - Hematologi & Onkologi Ask the Expert
Oleh: Anonymous
1 Balasan
ALO dr. Alvin SpPD-KHOM.. pada usia berapa, pasien sickle cell biasanya terdiagnosis? Tanda dan gejala apa yang bisa menjadi petunjuk awal kecurigaannya?...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya, Gratis!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2021 Alomedika.com All Rights Reserved.