Penatalaksanaan Anemia Sel Sabit
Penatalaksanaan anemia sel sabit, atau sickle cell anemia, meliputi pemberian hidroksiurea sebagai disease modifier drug, transfusi darah sesuai indikasi, dan tata laksana suportif untuk nyeri dan komplikasi yang mungkin muncul.
Hidroksiurea
Terapi dengan hidroksiurea direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan anemia sel sabit. Hidroksiurea meningkatkan kadar hemoglobin total dan fetal pada anak dengan penyakit sel sabit, sehingga gelasi dan penyabitan dari sel darah merah mampu dihambat. Hidroksiurea juga menurunkan kadar leukosit di sirkulasi, sehingga menurunkan perlengketan ke endotel yang akan menurunkan frekuensi episode nyeri dan acute chest syndrome.
Dosis awal bagi pasien dewasa adalah 15 mg/kg/hari. Dosis untuk infant dan anak-anak adalah 20 mg/kg/hari. Jika pasien memiliki penyakit ginjal kronis, sesuaikan dosis menjadi 5-10 mg/kg/hari. Lakukan pemantauan laboratorium darah lengkap dengan hitung jenis dan retikulosit setidaknya setiap 4 minggu.[1,16]
Indikasi pemberian hidroksiurea adalah :
- Episode nyeri ≥6 per tahun
- Riwayat acute chest syndrome
- Riwayat kejadian vasooklusif berat lain
- Anemia simptomatik derajat berat
- Nyeri kronis berat yang tidak remisi walaupun telah mendapat terapi adekuat
- Riwayat atau risiko tinggi stroke[4]
Transfusi Darah
Transfusi darah darurat diberikan jika terjadi anemia berat akibat sekuestrasi splenik akut, infeksi parvovirus B19, atau krisis hiperhemolisis. Transfusi juga bisa dimanfaatkan pada kasus anemia sel sabit dengan acute chest syndrome, perioperatif, dan kehamilan.
Sementara itu, indikasi transfusi tukar akut adalah :
- Stroke iskemik akut
Acute chest syndrome derajat berat
- Sindrom gagal organ multipel
- Sindrom kuadran kanan atas
- Priapismus yang tidak membaik setelah hidrasi dan analgesia adekuat[4,16]
Pemberian transfusi sel darah merah jangka panjang ditujukan untuk menekan produksi hemoglobin S dan sebagai pencegahan terjadinya overt stroke pada pasien dengan penyakit sel sabit. Hemoglobin S diharapkan dapat ditekan hingga kurang dari 30% pada tiga tahun pertama terapi, selanjutnya penekanan hanya ditargetkan kurang dari 50%.[1,4,7]
Komplikasi akibat transfusi darah meliputi risiko hiperviskositas, aloimunisasi, hemolisis, dan kelebihan besi. Awasi adanya delayed hemolytic transfusion reaction yang ditandai dengan anemia akut, nyeri, atau ikterus dalam 3 minggu setelah transfusi darah. Sementara itu, pada pasien yang mendapat terapi transfusi jangka panjang, lakukan pemantauan kelebihan besi secara berkala, misalnya menggunakanan biopsi hepar dan MRI.[16]
Agen Terapi Suportif
Analgesik dapat diberikan pada pasien dengan nyeri ringan menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen dan ketorolak, atau analgesik nonopioid lain. Akan tetapi, untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal akut, pemilihan terapi sebaiknya menimbang rasio manfaat dan risiko, serta klinis masing-masing pasien. Terapi nyeri ini tidak disarankan melebihi 5 hari.
Opioid oral, seperti codeine, dapat menjadi pilihan pada pasien dengan nyeri yang lebih berat. Pada anak, opioid oral lepas lambat lebih disarankan dibandingkan opioid parenteral.[1]
Pencegahan dan Tata Laksana Infeksi
Pencegahan dan tata laksana infeksi yang adekuat pada anemia dan penyakit sel sabit akan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Penicillin
Pemberian penicillin profilaksis dilaporkan mampu mengurangi insidensi infeksi organisme berkapsul, terutama S. pneumoniae, sehingga menurunkan risiko mortalitas. Pemberian profilaksis penicillin dapat dimulai pada usia 2 bulan dengan memberikan penicillin V atau penicillin G 125 mg dua kali sehari. Saat pasien berusia 3 tahun, dosis ditingkatkan menjadi 250 mg dua kali sehari.
Pemberian profilaksis penicillin sebaiknya dilanjutkan hingga usia 5 tahun atau sampai pasien remaja. Saat ini, manfaat dari kelanjutan profilaksis penicillin hingga dewasa sedang dalam proses penelitian, karena terdapat laporan yang mengindikasikan bahwa risiko septikemia akibat organisme berkapsul terus berlanjut hingga masa dewasa.
Jika pasien alergi terhadap penicillin, maka erythromycin dapat menjadi alternatif.[1,4,7]
Vaksin Pneumokokus
Peningkatan risiko bakteremia akibat Streptococcus pneumoniae mengindikasikan perlunya vaksin pneumokokus pada anak dengan penyakit sel sabit. Vaksinasi dapat diberikan dengan 13-valent pneumococcal conjugate vaccine dan pneumococcal polysaccharide vaccine. Vaksin diberikan di usia 2 tahun, dan dilakukan booster saat usia 5 tahun.[1,4,7]
Tata Laksana Komplikasi
Sebagai bagian dari penyakit sel sabit, tata laksana anemia sel sabit juga melibatkan manajemen krisis vasooklusif, tata laksana ulkus ekstremitas, dan manifestasi oftalmologi.
Manajemen Krisis Vasooklusif
Tata laksana krisis vasooklusif meliputi hidrasi dan analgesik intravena. Pasien sebaiknya dirawat inap. Terapi cairan dengan cairan salin normal atau dextrose 5% diberikan hingga dehidrasi teratasi dengan mempertimbangkan kehilangan cairan tambahan akibat demam.
Pemberian hidroksiurea dan crizanlizumab dilaporkan mampu menurunkan frekuensi timbulnya krisis vasooklusif.[4]
Tata Laksana Ulkus Ekstremitas
Ulkus ekstremitas dapat timbul akibat stasis vena dan hipoksia kronis. Ulkus dapat disertai infeksi sekunder, sehingga tata laksana melibatkan debridemen dan pemberian antibiotik. Beberapa literatur menyarankan pemberian dressing oklusif dengan zinc oksida disertai elevasi kaki. Transfusi darah dilaporkan mampu mempercepat penyembuhan ulkus.[4]
Tata Laksana Manifestasi Oftalmologi
Tata laksana manifestasi oftalmologi dari penyakit sel sabit ditujukan untuk mencegah penurunan tajam penglihatan akibat perdarahan vitreus, retinal detachment, dan membran epiretina. Tata laksana dapat meliputi pemberian agen topikal, namun hindari penyekat anhidrase karbonik karena dapat memperparah manifestasi.
Terapi bedah mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraokular yang tidak turun dengan medikamentosa.
Retinopati dapat diobati dengan diatermi, cryotherapy, dan fotokoagulasi. Tujuan tata laksana adalah menghilangkan neovaskularisasi sehingga mencegah sekuele dari retinopati.[4]